Bagian 51

11.7K 2.6K 769
                                    

SUDAH terlanjur basah, tak ada jalan lain selain mengakui semuanya. Gue perlu mengatakan kalau sejak awal gue memang sudah tahu tentang PTSD-nya, tentang gue yang sengaja ikut event JungleLand, dan tentang gue yang menemui ayahnya hanya karena penasaran dengan matanya yang terlalu mirip dengan nyokap kandung gue. Semoga saja Shafira nggak menganggap gue laki-laki aneh yang punya obsesi berlebihan padanya.

"Awalnya saya mencoba untuk nggak peduli sama kamu, tapi malam sebelum event itu saya cemas. Teman-teman kamu nggak ada yang tahu tentang kondisi kamu, dan hal tersebut benar-benar mengganggu pikiran saya. Akhirnya saya bilang sama Abyan kalau saya akan ikut jadi relawan. Saya juga sengaja membawa kendaraan pribadi, supaya kamu nggak harus naik kereta."

"But... that's just a normal concern, nothing else," tambah gue, ketika ekspesinya sedikit berubah dan tak terbaca.

"Kenapa Anda nggak bilang dari awal?"

"Kamu akan selalu menolak segala kebaikan, kalau saya yang melakukannya."

"Tapi dari mana Anda tahu kalau ayah saya kehilangan... Oke let's forgot about that for a moment, and then?" dia meminta gue untuk melanjutkan ceritanya. Mungkin merasa tidak nyaman karena tiba-tiba memotong pembicaraan gue dengan bebagai pertanyaan yang menganggu pikirannya.

"Selang seminggu dari kecelakaan itu, mamanya Sheina memutuskan gantung diri di kamarnya karena kondisi mentalnya yang nggak stabil. Dia mengalami depresi berat karena mengetahui kalau ternyata saya anak kandung suaminya. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu. Sheina sendiri yang menemukannya pertama. Semenjak hari itu saya sangat membenci Papa dan Ibu, terlebih diri saya sendiri."

"Semakin dewasa saya makin sadar dan mulai mengerti. Ah, harusnya saya memang nggak pernah ada di dunia ini, semuanya akan baik-baik aja kalau nggak ada saya, ternyata hadirnya saya menyulitkan semua orang. Kalimat-kalimat seperti itu memenuhi pikiran saya hampir setiap hari. Berpikiran bahwa mungkin dengan begitu mamanya Sheina masih ada. Sheina nggak harus kehilangan ibunya di umur sekecil itu. Dia nggak harus memiliki kehidupan seperti sekarang."

"Semuanya kesalahan saya. Berbagai masalah terjadi karena kehadiran saya. Ibu saya nggak harus ditolak oleh keluarganya sendiri kalau dia tidak keras kepala untuk tetap melahirkan dan membesarkan saya. Saya merasa nggak pantas menjadi kakaknya Sheina setelah apa yang saya lakukan pada hidupnya." Gue mengakhiri kisah pilu itu setelah meringkas luka puluhan tahun hanya dalam hitungan menit. Namun respons Shafira selalu nggak terduga.

"Ya, itu memang salah Anda." Gue agak mengernyitkan kening heran.

"Jika saya di posisi Anda mungkin saya akan berpikiran yang sama, tapi saya akan memilih jalan yang berbeda untuk menghukum dan membenci diri saya sendiri."

"Setelah membuat Sheina menjadi seorang piatu, saya nggak akan pernah membuatnya merasakan kehilangan yang sama untuk kedua kalinya. Apalagi membuat dia menjalani kehidupan sendirian. Mungkin saya akan menjadi sebaik-baiknya kakak untuk adik saya. Saya akan selalu ada ketika dia membutuhkan saya. Itulah satu-satunya hukuman yang bisa saya jalani seumur hidup untuk menebus apa yang telah saya lakukan."

"Tapi itu hanya sebatas ucapan, menjalankannya seringkali lebih sulit dari apa yang dikatakan orang lain..." lanjut Shafira.

"Harusnya saya lakukan itu sejak dulu ya," kata gue sambil tersenyum miris.

"Kesempatan hanya benar-benar hilang saat mulut terbungkam tanah..." katanya terdengar begitu menenangkan ditelinga gue. Seolah dia mengatakan gue masih memiliki segudang kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin gue lakukan. Selama gue masih bernafas, kesempatan itu masih terbuka lebar.

Hening agak lama setelah itu. Meninggalkan papa dan Sheina adalah pelarian terjauh yang pernah gue lakukan dan gue sudah terlalu jauh, terlalu lama berlari, hingga lelahnya membuat gue ingin kembali pulang.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang