BUKAN Shafira namanya kalau tidak bisa mengatasi situasi-situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman, atau mungkin karena pikiran Shafira terlampau bersih, nyalinya sama sekali tak terusik meski mendengar pertanyaan seseduktif itu.
"Ya, Silakan. Tunjukkan sikap dewasa Anda. Bertanggung jawab, loyalitas, adil, dan profesional. Itu yang dilakukan orang dewasa. Rasanya nggak adil Anda marah sama saya hanya karena saya berbicara dengan Pak Andreas." Dia membawa kembali pembicaraan ini ke jalan yang lurus. Gue menyunggingkan senyum asismetris.
"Rasanya nggak adil, kamu marah sama saya hanya karena saya telepon pramubakti untuk minta dibuatkan kopi dan dipesankan makanan. Kenapa? Cemburu?" Alisnya bertaut tatkala mendengar itu. Hampir tidak terima ketika gue katakan dia sedang cemburu.
"Saya? Mana mungkin saya cemburu."
"Buktinya kamu masuk ke ruangan saya dan melakukan protes tentang hal tersebut sekarang. Itu jadi salah satu indikasi kalau kamu lagi cemburu."
"Kalau begitu, kita memiliki common ground yang sama. Anda bilang saya cemburu karena Anda menghubungi pramubakti? Anda juga cemburu karena saya sarapan bareng Pak Andreas? Bukankah itu juga satu indikasi?" Shafira memutar balikan hampir seluruh perkataan gue.
Gue kehabisan kata-kata, rasanya semua yang dia katakan lebih seperti fakta. Pada akhirnya gue menyerah juga. Lagipula, gue nggak bisa membuatnya terus merasa diabaikan. Padahal gue tidak berharap kalah telak dua kali.
Gue membenarkan posisi duduk dan menyenderkan punggung ke sandaran kursi. "Kalau iya, bagaimana?"
"Ya?" Shafira bingung sendiri dengan pertanyaanya.
"Kalau iya saya cemburu, kamu mau bagaimana, Ra?"
Shafira hanya menarik nafas panjang, terdengar istigfarnya lirih. Kiranya gue berhasil membuatnya kesal sampai titik maksimal. Dia sudah menyerah berbicara dengan gue. Bagaimana gue bisa cepat-cepat meredam segala perasaan ini, kalau berbicara dan menggodanya seperti ini saja terasa sangat menyenangkan.
"Sikap saya bagus, kan? Bisa bikin kamu banyak istighfar." Dia tak menanggapi dan hanya berdiri seolah menunggu instruksi soal pekerjaan.
Gue teringat hadiah yang belum gue berikan. Tadi Pak Iman mengantarkan bingkisan itu langsung ke ruangan gue dan menaruhnya di kursi tamu. Gue bangkit dan mengambil benda itu, lalu menyerahkannya pada Shafira, meski dia menerimanya dengan kondisi bingung.
"Hadiah buat kamu. Sebagai ucapan terima kasih karena udah mau merawat Sheina." Sepertinya dari warna kotaknya saja, Shafira sudah bisa menebak apa hadiah yang gue berikan. Black selleria bag-nya Fendi. Gue nggak tahu nama tasnya. Gue hanya mengingat varian yang dikatakan shopkeeper di sana karena itu satu-satunya tas hitam yang tersisa di sana.
"Saya nggak bisa menerima hadiah semahal ini."
"Kalau begitu kamu bisa memberikannya kepada orang lain, menjualnya lagi, atau membuangnya. Terserah. Yang penting saya udah kasih itu ke kamu."
"Kenapa sih, Anda selalu mengatakan hal seperti itu setiap kali saya menolak untuk menerima hadiah?" tanyanya kembali kesal.
"Karena saya mau kamu menerimanya tanpa penolakan. Itu sama sekali nggak sebanding dengan kebaikan yang kamu lakukan pada Shiena. Anggap saja itu... ucapan selamat atas pertunangan kamu dengan Rafif," jawab gue, meski terasa sangat tidak ikhlas memberi ucapan selamat. Dia tak menanyakan dari mana gue tahu soal pertunangannya. Mungkin itu sudah menjadi rahasia umum.
"Terima kasih banyak, tapi..."
"Saya benar-benar nggak bisa menerima ini." Dia menaruh kembali bingkisan itu di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...