Bagian 85

12.4K 2.7K 1K
                                    

MELIHAT Om Erwin dan Shafira nggak saling nggak kenal aja, udah sangat aneh buat gue, dan dugaan gue benar. Shafira mengejar ke mana ayahnya Rafif pergi. Gue menemukan mereka berdua sedang berbicara di depan pintu lift. Entah perempuan bernama Amel itu pergi kemana, dia sudah tidak terlihat. Saat itu gue nggak langsung menghampiri Pak Erwin dan Shafira, gue mencoba untuk menganalisis situasinya dulu. Sekilas dari yang gue denger, Shafira mengajak Om Erwin untuk mencari tempat agar bisa berbicara lebih serius.

"Maaf, Shafira. Saya nggak punya banyak waktu. Silakan bicarakan aja di sini sekarang."

"Sebelumnya saya mohon maaf karena mengajak Anda berbicara dengan tiba-tiba. Saya tahu Anda sangat kaget ketika bertemu dengan saya untuk pertama kalinya dan saya rasa Anda juga tahu terkait hubungan saya dengan putra Anda."

"Lalu?" tanya Pak Erwin.

"Kenapa Anda nggak pernah hadir dari awal prosesi Kak Afif datang ke rumah saya, hingga prosesi khitbah. Saya merasa kurang nyaman bertemu dengan Anda tiba-tiba dan... Anda... mengenalkan orang lain sebagai tunangan Kak Afif juga," bicaranya agak terbata-bata.

"Sejak awal saya memang tidak pernah merestui pilihannya Rafif. Saya nggak mau menyalahkan kamu, tapi memang faktanya anak saya jadi berani melawan saya dan berbohong hanya demi bisa menikahi kamu. Buktinya dia juga membohongi kamu, kan? Terkait keberadaan saya di luar negeri."

"Tidak... merestui?" tanya Shafira dengan suara yang mulai gemetar.

"Apa anak saya belum bilang sama kamu? Kalau saya nggak pernah memberikan restu pada kalian, tapi Rafif bersih kukuh akan menikahi kamu dengan dalih laki-laki tidak memerlukan izin wali untuk menikah. Jadi bukan kewajiban saya untuk menghadiri prosesi apapun dalam hubungan kalian, sekalipun nanti kalian jadi menikah."

Gue nggak tahu apa yang salah dalam diri gue. Harusnya ketika mengetahui itu, gue bisa merasa bahagia. Ada kemungkinan hubungan Shafira dan Rafif gagal. Namun pada kenyataanya, gue malah ikut hancur.

Sehalus apapun penjelasan yang diberikan Pak Erwin, tetap akan terasa begitu  menyakitkan untuk Shafira. Dia bukan seorang perempuan yang berani merusak hubungan seorang anak dengan orang tuanya. Rasa sesak dari pembicaraan itu, terasa hingga ke tempat gue berdiri.

"Maaf sekali, Shafira. Saya sedang buru-buru. Ini bukan masalah kamu dengan saya, ini masalah kamu dengan anak saya. Hanya itu yang bisa saya jelaskan, silakan bicarakan lagi dengan Rafif." Pak Erwin pergi memasuki lift. Shafira masih berdiri mematung. Dia terlihat menahan diri untuk nggak menangis saat itu.

Kenapa semua ini harus Shafira ketahui saat pernikahannya hanya tinggal beberapa minggu? Apa yang membuat Pak Erwin enggan memberikannya restu? Bagaimana bisa Rafif meminang dua perempuan sekaligus? Tidakkah dia memikirkan konsekuensinya, sebelum melakukan ini pada Shafira? Semua pertanyaan itu bergantian mengisi kepala gue.

Gue berjalan menghampiri Shafira. Melihatnya mati-matian untuk terlihat baik-baik saja, membuat gue ikut larut dalam dukanya. Harusnya Rafif membahas hal ini baik-baik dengan Shafira, atau dia bisa meyakinkan orang tuanya tentang pilihannya agar pernikahannya bisa berjalan dengan lancar.

Gue nggak tahu harus bilang apa untuk membuatnya merasa lebih baik. Gue melepas jaket, lalu menutupi kepalanya dengan benda itu. Mengurangi pandangan orang-orang yang beberapa kali memperhatikannya.

"Nggak apa-apa, nangis aja." Seketika pertahanannya runtuh saat gue mengatakan itu. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan, akhirnya meluap juga. Shafira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan berusaha menangis tanpa suara.

Ya Allah, gue sangat ingin memeluknya saat itu. Gue tahu betapa sesaknya harus menahan tangis di keramaian.

Sejenak, gue membiarkannya untuk mengeluarkan segala rasa kecewanya dengan menangis. Menangis memang nggak mengubah apapun, tapi setidaknya bisa membuatnya merasa lebih baik.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang