SHAFIRA turun lebih awal di lantai yang dia tuju, gue turun menyusul di lantai tempat kedai kopi dan restoran berada. Ammar mengirim pesan yang mengatakan kalau dia tidak di kamarnya, dia sudah lebih dulu menunggu di tempat makan mengajak makan siang. Tebak apa yang pertama kali diucapkan Ammar ketika melihat kedatangan gue.
"Es salâm alaekum, kida leih?" Kenapa begitu? tanyanya. Dia mengucapkan salam kemudian bertanya dengan karakteristik amiyah-nya yang kental ketika melihat kondisi gue setelah tak sengaja bertemu dengan Shafira di dalam lift tadi.
"We 'alaekum salâm, bukan apa-apa. Udah lama nunggu di sini?" tanya gue dengan bahasa yang sama. Ammar mengangguk namun dia seperti tidak percaya dengan jawaban itu.
"Ma'a mien?" Kamu sendiri?
Ammar melihat-lihat ke arah belakang, mengira gue mengajak orang lain datang ke sini. Ammar bilang, gue orang aneh yang sering tiba-tiba mengajak orang berbicara dan akrab dalam hitungan detik.
"Ana li wahdie," saya sendiri. "Menurut kamu, saya datang dengan siapa?" Karena tingkahnya Ammar, gue jadi ikut-ikutan menoleh ke arah Ammar menoleh. Lagi-lagi gue melihat Shafira berjalan masuk, dia memutarkan pandangan mencari tempat duduk.
"Astagfirullah..." Seketika gue kembali menatap Ammar. Pria muda dengan hidung terlampau mancung dan tinggi badan yang patut dibanggakan itu terlihat bingung dengan tingkah gue.
"Kita cari makan di tempat lain aja." Gue mengajak Ammar untuk segera pergi dari kedai kopi itu.
"Râ-yeh fein?" Mau ke mana?
"Makan di Al Baik aja. 'Andi syughl, lâzim akhlash-hum." Masih ada yang harus dikerjakan, ucap gue.
Ammar menghela nafas dan bangkit dengan agak menggerutu. "Saya bosan makan ayam Al Baik terus." Begitu kurang lebih komplennya saat gue mengajaknya ke Al Baik.
"Beina 'ala henâk," Ayo kita pergi ke sana saja. Gue membujuknya untuk kesekian kalinya, agar kami tidak makan di tempat itu.
Gue meminta Ammar untuk menunggu di depan pintu lift, sementara gue pergi menghampiri salah satu pegawai di kafe itu dan mesan makanan khas Indonesia untuk diberikan pada Shafira.
Baru setelah itu gue dan Ammar pergi meninggalkan hotel Dar al Tawhid untuk mencari makan di tempat lain. Tentu bukan Al Baik, sebab Ammar benar-benar menolak makan siang di sana. Gue memperbolehkan dia memilih tempat mana pun dan berjanji gue yang akan membayar makanannya untuk membuat anak itu tidak terlalu murung.
Ammar sudah terbiasa memaklumi keanehan-keanehan yang gue lakukan, sebab gue orang dengan lidah Indonesia yang kadang-kadang beberapa makanan Arab masih nggak cocok di lidah. Namun yang aneh baginya kali ini, belum sempat mencicipi makanan di hotel bintang lima saja, gue sudah mengajaknya pergi.
Ini menjadi dua hari terakhir gue berada di Kota Mekkah, sebelum kembali ke Indonesia dengan penerbangan besok siang. Sementara malam ini, Ammar akan kembali ke Riyadh menggunakan bus via Ta'if. Gue ingin membelikan sesuatu untuk Sheina dulu dan menitipkannya pada Ammar sebelum pulang, karena gue nggak mungkin bisa ke Riyadh dulu. Lumayan jauh jaraknya.
Tentu saja Ammar tidak mungkin memberikannya langsung pada Sheina, dia akan menitipkan pada ibunya, karena setiap dua hari sekali Sheina akan datang ke rumahnya Ammar untuk belajar tahsin pada syaikhah, ibunya Ammar.
Keesokan harinya, setelah melaksanakan salat dhuha di depan ka'bah langsung. Gue mendadak mendapat panggilan hati untuk berdoa di Jabal Rahmah. Pengen aja ke sana sebelum pulang, karena biasanya pagi-pagi begini nggak terlalu penuh dan belum terlalu panas. Hanya memerlukan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke Jabal Rahmah dari Masjidil Haram.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...