KEESOKAN harinya gue perlu merepotkan Pak Iman karena gue nggak sanggup menyetir sendiri buat berangkat kerja. Gue masih pengen tidur setelah tadi pagi mencoba untuk bangun sebelum azan subuh. Gue jadi tahu, kenapa sholat berjamaah pahalanya dua puluh tujuh kali lipat dan kenapa sholat sunnah dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya. Ya, karena melakukannya seberat itu.
Makin terjal jalannya, makin besar pahalanya. Harus membuka mata saat orang lain masih terlelap, harus menahan dingin saat orang lain masih hangat berselimut. Harus melangkahkan kaki, saat orang lain masih meringkuk. Gue tidak menemukan, dimana letak menyenangkannya.
Masalahnya kalau mau berjamaah di masjid, gue perlu bawa kendaraan pribadi karena nggak mungkin jalan kaki. Masjid yang lokasinya paling dekat dengan apartemen gue jaraknya sekitar satu setengah kilometer.
Kayaknya gue perlu beli motor. Ribet juga kalau tiap subuh harus manasin dan nyalain mobil dulu. Nggak mungkin juga gue meminta Pak Iman yang melakukannya kalau sepagi itu, atau gue perlu beli apartemen yang lebih deket sama masjid. Kalau bisa yang suara azannya terdengar jelas hingga ke kamar. Biar gue nggak perlu pasang alarm.
"Saya kira Mas Atha nginep di rumah sakit lagi semalam..." Perkataan Pak Iman membuyarkan lamunan gue soal cara instan supaya gue bisa sholat berjamaah di masjid tiap subuh.
"Nggak, Pak. Saya pulang semalam. Ada Papa," jawab gue.
"Tak kira bergadang lagi nemenin Dek Sheina. Soalnya tumben, kantung matanya jelas banget hari ini," mungkin Pak Iman sempat memperhatikan kondisi gue dari kaca spion.
"Sejelas kerjaan saya yang kayaknya makin hari makin banyak. Ngantuk saya, Pak. Kurang tidur."
Setelah itu Pak Iman seolah mengerti, dia nggak mengatakan apapun lagi. Bukan hal baru baginya, dia tahu kalau gue dan Papa nggak akan bisa berada di tempat yang sama. Membiarkan gue tertidur selama perjalanan tanpa tahu bagaimana kondisi jalan pagi itu, adalah hal paling bijak yang selalu Pak Iman lakukan.
Sepuluh menit ketika mobil hampir sampai di Nata Adyatama, gue terbangun. Saat mobil itu berbelok masuk dan gue sedang merapikan diri agar tidak terlalu terlihat muka bantal. Pak Iman mengatakan sesuatu yang membuat gue ikut menoleh ke luar jendela.
"Loh, itu bukannya Mbak Shafira? Tumben ada Bapak pagi-pagi di kantor." Gue cukup mengenali bapak yang dimaksud Pak Iman bukanlah mantan Tuhannya Vian, melainkan bokap gue. Mereka berdua berjalan masuk ke arah gedung dan terlihat bercengkrama akrab.
Pirasat gue mendadak buruk. Kayaknya hampir tiga tahun lalu gue terakhir melihat Papa datang ke kantor, dan kenapa juga dia menemui Shafira sepagi ini tanpa menghubungi gue sama sekali. Seketika gue menjadi kesal, karena gue nggak tahu sebenarnya Shafira berada di pihak siapa.
Gue meminta di turunkan di depan lobi, sementara Pak Iman memarkirkan mobil ke baseman. Melihat wajah gue yang tidak bersahabat, Papa langsung angkat bicara.
"Papa lagi nggak mau berdebat sama kamu, Athaya. Papa mau langsung balik ke rumah sakit lagi." Dia beralih menetap Shafira, sepertinya mood-nya sedang sangat baik sekali pagi ini
"Shafira, makasih ya udah mau nemenin saya sarapan. Insyaallah kalau ada kesempatan, kita jelajah lagi ketoprak yang enak di Jakarta." Gue makin merasa tidak suka mendengar itu.
"Di lain kesempatan, kalau Anda punya keperluan dengan sekretaris saya, biasakan untuk menghubungi saya terlebih dahulu." Kening Papa mengernyit mendengar penolakan dari gue.
"Bukannya Papa yang harusnya menghubungi Shafira lebih dulu kalau mau ketemu kamu. Jelas itu tugas sekretaris. Aneh kamu. Sejak kapan kalian bertukar jobdesc?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...