Extra Chapter 9A

13.6K 2.6K 425
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Info update mundur udah aku kasih tahu di story dari kemarin malam. 🙏🏻🙏🏻


Satu bagian lagi masih dalam proses pengetikan, update menyusul agak malam.

Happy reading.🌹🌹

__________

SEKARANG  gue paham, kenapa dulu Ustaz Harits sangat-sangat menganjurkan gue untuk banyak belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pernikahan, sekalipun gue belum ada rencana menikah saat itu. Ternyata dalam pernikahan, berbekal cinta dan rasa yakin saja nggak cukup. Perlu banyak kompromi dan toleransi. Namun selain dua hal tersebut, pertengkaran kecil ini juga menyadarkan gue bahwa pernikahan perlu mengesampingkan ego dan menurunkan gengsi.

Secara pribadi, gue beranggapan kalau gue bukan orang yang egois, tapi soal gengsi, itu masih menjadi PR terbesar gue. Peran suami ditambah faktor gensi, apalagi perihal melisankan kata maaf duluan, rasanya berat sekali. Makanya gue sering memohon perlidungan akan keburukan diri gue sendiri. 

Meninggalkan hotel tanpa rencana membuat gue berpikiran untuk mengunjungi Ammar dan bertamu ke rumahnya. Gue sudah sangat ingin bertemu dengan Syeikh Rahman, mendiskusikan banyak hal hingga mendengarkan nasihat-nasihatnya yang selalu berakhir adiktif. Mungkin kali ini, gue akan banyak meminta nasihat pernikahan.

Sayangnya ternyata ketika gue telepon Ammar, mereka sekeluarga sedang pulang ke Mesir karena ada acara keluarga. Mereka akan tinggal di sana selama kurang lebih seminggu ini, artinya gue nggak mungkin ketemu Ammar selama di Riyadh. Namun dia berjanji akan menemui gue ketika gue di Mekkah atau Madinah nanti.

Kebodohan kedua yang gue lakukan adalah, gue keluar kamar hotel cuma bawa handphone doang. Semua kartu dan uang kes gue tersimpan rapi dalam dompet di tas sling bag bersama paspor dan surat-surat penting lainnya. Mau balik ke kamar dulu, tapi gue mikir dua kali melakukannya. 

Hotel tempat gue dan Shafira menginap bersebrangan dengan salah satu masjid yang cukup besar. Meski nggak terlalu terkenal, desain arsitekturnya nggak pernah ada yang mengecewakan. Khas negara-negara timur tengah dengan kubahnya yang megah dan pahatan pada bagian langit-langitnya.

Gue salat Asar di sana, sambil menunggu Magrib gue muraja'ah beberapa juz di masjid tersebut bermaksud mendinginkan kepala. Kegiatan tersebut ternyata berlangsung hingga Isya. Usai berjamaah Isya, gue baru berniat kembali ke kamar hotel untuk membereskan kopernya Shafira. Tentu saja setelah gue merasa yakin bisa menurunkan gengsi untuk meminta maaf lebih dulu.

Masuk ke lobi hotel, gue nggak sengaja berpapasan dengan Sheina ketika dia sedang menunggu lift turun.

"Kamu mau ketemu Kak Shafira?" tanya gue pertama, setelah kami saling bertukar salam.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang