PERCAKAPAN penting kerap kali berlangsung di tempat-tempat tak terduga, salah satunya tempat golf. Senayan National Club Golf, menjadi alamat yang dikirim Pak Abinaya untuk tempat meeting di weekend ini. Tentu saja meeting yang lebih kasual karena sekalian berolahraga. Kayaknya udah lama banget gue nggak main golf di tempat ini. Sekalinya main golf lagi, gue dikerumuni bapak-bapak seusia bokap gue. Sebenarnya gue sama sekali nggak masalah main golf bareng mereka, justru akan ada insight-insigh baru yang gue dapat dari senior-senior di bidang ini.
Gue malah lebih bermasalah sama caddy golf yang makin sini baju-bajunya makin kurang bahan. Mereka perlu banyak sunscreen untuk membuat kulit mereka nggak terbakar matahari, sebab Senayan mulai terasa panas hari ini dan gue juga mulai merasa risih lihatnya.
Aneh, padahal dulu mungkin hal-hal seperti ini justru membuat gue tertarik.
Kebanyakan dari teman golf Pak Abinaya adalah rekan bisnis lama Nata Adyatama, yang juga merangkap sebagai teman bokap gue. Semoga saja mereka tidak mengajak Mentri ATR, karena sungguh gue sama sekali nggak siap untuk bertemu ayahnya Nalea hari ini di tempat seperti ini.
Nggak sampai sepuluh menit, pembicaraan soal pekerjaan sebenarnya udah selesai. Mewakili Shafira, gue juga menyampaikan permintaan maaf karena pembatalan meeting secara sepihak tanpa kabar waktu itu.
Setelah urusan kerjaan selesai, inginnya gue langsung cabut saat itu juga. Namun gue belum menemukan alasan yang cocok untuk dikatakan, gue perlu menghabiskan waktu sebentar di tempat itu sambil berpikir bagaimana caranya untuk pergi dengan cara yang paling normal.
"Papamu tuh, Tha. Suruh jangan terlalu gila pencapaian. Masih kerja terus, padahal udah tinggal menikmati hidup. Usianya udah cocok buat nimang cucu." Gue menggaruk belakang leher yang tidak gatal sambil pura-pura membenarkan posisi topi. Seringkali kita yang menjalani hidup, orang lain yang menyimpulkan.
"Anak-anak jaman sekarang udah jarang yang memikirkan nikah, usia udah tiga puluh lima aja mereka masih fokus sama pendidikan dan karir," komentar yang lainnya. Gue kayak lagi di roasting oleh empat orang sekaligus.
"Anak saya juga gitu. Lama-lama Indonesia kayak Jepang, Korea Selatan, China yang udah dari lama mengalami resesi seks. Pada nggak mau nikah sama punya anak. Heran..."
"Kamu udah punya tunangan kan, Tha? Anaknya Pak Heri Tjantmika. Siapa namanya? Nalea kalau saya nggak salah. Masih kuliah S2 juga kan, dia?" Gue mengangguk tipis, merespon percakapan mereka dengan anggukan, gelengan, dan senyum sesekali.
"Kapan rencana mau menikah? Andreas kan belum pernah mengadakan pesta pernikahan sebelumnya. Soalnya kamu anak sulung."
"Eum... mungkin nunggu kuliah Nalea dulu selsai, Om. Biar nggak harus long distance marriage. Kan nggak seru kalau harus tunangan udah jauh-jauhan, setelah nikah harus jauh-jauhan juga."
"Oh, tahun depan berarti?" Gue mengangguk lagi. Dalam hati gue berharap semoga tahun depan Nalea memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3.
"Anaknya Erwin, udah tunangan juga ya minggu lalu?" tanya Pak Abinaya pada dua orang disamping gue. Kayaknya topik ini nggak akan selesai-selesai, gue mesti cari alasan buat bisa cabut segera dari tempat ini.
"Erwin...?" tanya gue sambil menatap mereka bermaksud meminta penjelasan. Gue menanyakan nama itu karena kayaknya gue pernah ketemu tapi lupa orang itu siapa.
"Itu loh yang istrinya jadi kolektor lukisan mama kamu dulu." Akhirnya kalimat itu berhasil memanggil seluruh ingatan gue tentang orang bernama Erwin. Ngomong-ngomong, orang yang dimaksud Pak Abinaya adalah mamanya Sheina yang dulunya seorang seniman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...