JAM tujuh pagi, gue terbangun karena cahaya yang terlalu terang memaksa masuk ke mata gue. Antara lampu yang dinyalakan atau gorden di depan gue yang dibuka lebar-lebar. Yang jelas gue nggak lagi di apartemen dan gue nggak sendirian di kamar ini. Gue berusaha untuk bisa duduk, meski rasanya tidur gue masih terasa kurang karena cuma berbaring selama kurang lebih empat jam di sofa yang panjangnya nggak bisa menampung tinggi badan gue, bikin gue nggak nyenyak tidur semalam.
"Pagi banget bangunnya. Udah mendingan?" tanya gue pertama ketika mendapati orang yang bikin gue ribet semalam, udah bisa berdiri dan berjalan dengan normal. Hangover biasanya nggak selesai secepat itu. Tebakan gue, dia memang minumnya dikit semalam. Cuma tubuhnya aja yang lemah kayak Bima, alkohol dikit aja bikin dia gampang mabuk.
"Lo... tidur semalaman di kursi?" tanyanya ada jeda, terlihat agak cemas. Gue masih dalam kondisi mengumpulkan setengah nyawa dan merapihkan penampilan gue yang berantakan paska bangun.
Semalam gue memang check in di hotel paling deket untuk mengamankan Yessi. Gue berniat nganterin dia ke kamar, habis itu gue tinggal dia sendirian. Biasanya setelah itu gue pulang dianter Pak Iman karena nggak sanggup nyetir sendiri. Paling besoknya gue nelepon resepsionis hotel agak siangan buat minta tolong bangungkan penghuni kamar yang ditempati.
As what I said before, Pak Iman masih cuti sampai besok. Semalam kepala gue kerasa berat banget habis nganter Yessi. Niatnya gue tidur sebentar di kursi sebelum balik ke apartemen habis subuh, tapi gue kebablasan tidur sampai siang di kamar ini sampai Yessi yang bangun duluan.
"Ya, gue tidur di sofa. Sorry... gue nggak bermaksud tidur di sini. Gue berniat nganterin lo pulang, tapi gue nggak tahu lo tinggal di mana." Gue bangkit dan mengambil handphone gue yang gue taro di meja agak jauh dari tempat gue tidur. Berharap benda itu nggak mati karena kehabisan batre. Gue menyerahkan handphone itu ke Yessi. Semalaman gue membiarkan handphone itu merekam video.
"Karena nggak mungkin ada CCTV, gue merekam pake handphone semalam. Khawatir gue melakukan sesuatu yang aneh. Cek aja. Kalau ada yang bermasalah, lo bisa pake rekaman itu buat melaporkan gue." Yessi mengernyitkan kening, namun pada akhirnya mengambilnya dan mengecek rekamannya.
Sepertinya dia malah malu sendiri karena dia benar-benar mabuk berat. Ngomong ngelantur nggak jelas, mengumpat nama-nama tertentu, joged-joged, sampai muntah untuk kesekian kalinya. Beruntung gue masih berhasil membawa dia ke wastafel sebelum muntah kena baju gue. Sisa videonya gue memang membantu dia untuk berbaring dengan nyaman, habis itu gue tertidur di sofa, nggak mengusik dia sama sekali yang tidur di kamar.
Gue memang memilih tipe kamar suite room yang kepisah antara kamar sama space buat tamu. Secara nggak langsung kita berada di ruangan yang berbeda meski nggak terlalu jauh jaraknya.
"Kayaknya ini video mending di hapus aja deh. Aduh, malu banget gue. Sorry ya, bikin repot semalam," katanya. Dia menghapus video itu sendiri. "Nggak tahu deh, gimana nasib gue kalau gue nggak ketemu lo. Mana gue nggak ingat apapun sama sekali setelah sloki tequila terakhir. But, this is the first time."
"First time? First time doing what? Pertama kali minum, pertama kali ikut event di club sampai tipsy, atau pertama kali berakhir check in di hotel bareng cowok yang baru dikenal sehari," tanya gue. Yessi tersenyum tipis. Gue masih terlalu mengantuk untuk di ajak diskusi, apalagi disenyumi.
"Bukan ketiganya... Ini pertama kalinya gue ketemu cowok yang membantu gue check in di hotel tapi nggak ngapa-ngapain dan malah tidur di kursi." Gue termenung, lah terus biasanya dia di apa-apain gitu? Tapi tentu saja pertanyaan itu sebatas muncul di pikiran gue, nggak mungkin juga gue utarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...