SETELAH gue cek ulang, gue bisa langsung mengetahui apa yang sedang Shafira kerjakan. Ternyata dia tengah mengerjakan pekerjaannya divisi Pak Handoko. Meski itu hanya soal sepele, membuat salindia presentasi dari draf meeting yang sudah ada, tetap saja hal tersebut bukan bagian dari pekerjaannya. Gue jadi curiga kalau draf meeting-nya dibuatkan Shafira juga.
"Na, Kakak di balkon ya. Ada urusan pekerjaan sebentar. Kamu tidur aja, kalau butuh sesuatu panggil Kakak." Belum sampai setengah jam setelah gue mengatakan itu, gue mendengar seseorang masuk ke dalam ruangan. Gue kira yang masuk perawat atau dokter yang akan visit pasien, untuk mengecek perkembangan kondisi Sheina. Namun suaranya langsung gue kenali sebagai Shafira.
"Athaya kemana?" tanyanya pertama.
"Wah, ini pertama kalinya kamu manggil saya pakai nama langsung tanpa embel-embel Pak atau Bos." Dia sempat terperanjat sebentar ketika gue muncul dari arah balkon.
"Saya nggak bermaksud untuk memanggil Anda dengan cara yang kurang sopan..." katanya, padahal gue sama sekali nggak keberatan akan hal itu.
"Ini kerjaannya Pak Handoko kenapa kamu yang kerjain?"
"Pak Handoko minta tolong dibuatkan draf meeting dan salindia presentasinya. Sekretarisnya nggak masuk hari ini, jadi saya mengerjakan." Sudah bisa gue tebak, Shafira orang yang akan sulit menolak untuk hal-hal seperti ini. Gue menyerahkan iPad yang gue pegang pada Shafira.
Tepat ketika tangan Shafira terulur untuk menerima iPad itu, rahang gue mengeras. Ada sebuah cincin yang tersemat dijari manisnya. Sejak awal bekerja dengan gue, Shafira tidak pernah terlihat menggunakan cincin di jari manapun. Ini pertama kalinya gue melihat dia memakainya, dan cincin sejenis itu jelas bukan sekadar aksesoris semata.
Tenggorokan gue mulai terasa tercekat dan rasa pahitnya menjalar hingga tenggorokan. Hampir saja benda itu jatuh dari genggaman gue kalau Shafira terlambat menggenggamnya.
"Draf sama salindianya diapain?" tanya Shafira setelah pekerjaannya gue selesaikan.
"Itu... Udah saya kirim ke emailnya Pak Handoko langsung pakai email pribadi saya." Gue mencoba mengalihkan perhatian dengan berjalan ke sofa dan meneguk sisa minuman soda yang masih berada di atas meja.
"Kenapa harus dengan email pribadi? tapi itu belum selesai semua." Shafira ikut duduk di tempat yang berlawanan.
"Udah saya selesaikan barusan, sengaja supaya... Pak Handoko tahu kalau saya mengetahui bahwa dia sering meminta tolong terkait pekerjaannya pada sekretaris saya. Lain kali kamu harus dapat izin dari saya ketika diminta mengerjakan pekerjaan milik orang lain."
"Ini hanya draf meeting, saya hanya menyelesaikan setengahnya kemudian membuat salindia. Kenapa harus ditolak? Anda juga sering mengerjakan laporan kinerja tahunan yang harusnya dikerjakan selain direktur. Itu termasuk jobdesnya Pak Jo dan itu juga di luar dari jobdes Anda, kan?"
"Itu beda konsep, Ra... Saya mengerjakannya karena itu akan ada manfaatnya untuk saya. Besar kemungkinan saya yang akan menggantikan posisi Pak Jo kedepannya. Kamu beda lagi, kamu dimanfaatkan tapi kamu nggak bisa tegas dan nggak bisa nolak. Apa pernah saya meminta sekretaris bagian lain untuk mengerjakan pekerjaan saya ketika kamu nggak ada? Nggak, kan?"
"Kalian ngobrolin apa sih? Bisa nggak ngomongin tentang kerjaannya jangan di sini," Sheina menyadarkan gue bahwa di ruangan ini ada manusia lain selain gue dengan Shafira. Gue bahkan nggak bisa fokus dan terus menerus memperhatikan cincinnya.
"Maaf, berisik ya? Karena udah ada kakak kamu, saya mau pamit balik lagi ke kantor kok."
"Ngapain ke kantor?" tanya gue. "Pulang aja, ambil cuti setengah hari atau besok ambil cuti juga boleh. Toh saya juga nggak lagi di kantor. Lagian kamu butuh tidur, saya tahu kamu dan abang kamu butuh istirahat sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...