Bagian 115

14.1K 3.1K 2.9K
                                    

WAKTU tak pernah terasa berjalan sedinamis ini. Padahal tadinya gue berniat menunda kepulangan sebab ada kerjaan yang belum selesai, namun gue memilih untuk menunda pekerjaan tersebut dan tetap memutuskan pulang ke Bandung siang itu dengan penerbangan pukul dua siang. Gue menarik koper sesegera mungkin menuju tempat check in. Karena penerbangan tidak pernah berlangsung tepat waktu, gue perlu menunggu beberapa saat di tempat itu—lebih tepatnya beberapa jam, sebab penerbangan ditunda karena faktor cuaca.

Gue sangat ingin mengabari tahu Papa soal hal ini, namun semuanya masih dalam ketidakpastian. Entahlah, masih ada resah yang gue rasakan saat itu. Shafira mungkin mengizinkan gue untuk bertemu dengan ayahnya, tapi Pak Adam Hamid orang yang cukup sulit di tebak. Dia nggak akan mengizinkannya putrinya di pinang orang lain semudah itu.

Ketika sudah duduk di dalam pesawat, gue nggak bisa berhenti senyum sampai rasanya rahang gue mulai pegal karena terlalu banyak tersenyum. Debarannya masih terasa padahal Shafira udah nggak ada di depan mata. Gue iseng mengeluarkan dompet dan melihat hasil foto tadi siang.

Senyum di bibir gue makin lebar ketika melihat foto yang benar-benar terasa kaku itu. Foto pertama kami berdua yang terlihat sangat canggung. Berkat foto itu, gue jadi bisa memaklumi segala hal yang menyebalkan, termasuk penerbangan yang delay berjam-jam lamanya.

Gue menyempatkan diri untuk tertidur selama di pesawat, sebab nanti gue perlu menyetir sendiri mengingat mobil gue masih terparkir di area parkir inap bandara selama berhari-hari.

Saat itu gue sampai di Husein Sastranegara bertepatan dengan azan magrib. Gue menyempatkan diri mencari masjid, mengejar salat berjamaah. Memanjatkan doa sebanyak-banyaknya setelah menunaikan salat fardu. 

Ketika segala resah sudah gue tumpahkan dalam doa, gue bergegas menuju tempat parkir. Ternyata di luar sedang agak gerimis, karena hujannya nggak besar gue memilih menerobosnya. Jarak antara bandara dan rumah Shafira lumayan jauh, satu jam setengah dari bandara kalau nggak macet.

Syukurlah rumah Shafira berada di blok-blok awal, sehingga gue nggak kesulitan menemukannya. Meskipun gue bawa mobil, nggak mungkin gue tiba-tiba menyalakan klakson meminta dibukakan gerbang. Gue perlu menepikan mobil terlebih dahulu sebelum keluar dan menyalakan bel.

Orang yang membukakan gerbang dan membukakan pintu langsung Pak Adam saat itu, membuat gue tidak memiliki jeda untuk menata kata-kata. Dia dengan ramahnya langsung membukakan gerbang selebar mungkin, mempersilakan gue untuk masuk ketika menyadari di luar sedang agak hujan.

Jalan di depan rumahnya sangat luas, tapi Pak Adam tetap meminta gue memarkirkan mobil di garasinya meski mobil gue sebenarnya nggak akan menghalangi jalan orang lain. Pasalnya beliau cukup paham, menghilangkan duri dari jalan saja berpahala. Lantas bagaimana dengan sengaja menaruh mobil di jalan umum.

"Mimpi apa saya, ada Nak Atha bertamu ke sini," ucapnya pertama ketika sudah mempersilakan gue untuk duduk.

"Hasna, boleh tolong ambilkan handuk kering?" Pinta Pak Adam yang gue tebak berbicara pada menantunya.

"Kamu hujan-hujanan ke sini?"

"Saya kehujanan sedikit kok, Pak. Waktu nyari mobil di tempat parkir bandara tadi." Berbicara dengan Pak Adam tak segugup ketika berbicara dengan anaknya. Mungkin karena Pak Adam sama-sama laki-laki.

"Silakan diminum dulu, biar lebih hangat." Perempuan bernama Hasna yang sepertinya tengah hamil itu datang membawakan handuk kering, dua gelas air, dan  beberapa cemilan.

"Ayah boleh minta tolong lagi? Kamu pilihkan baju Hazm yang agak longgar? Kasian bajunya basah." Gue terang-terangan menolak tawaran itu. Kalau hanya soal baju, gue membawanya di koper.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang