Bagian 12

14.8K 2.5K 342
                                    

BACK to topic, tentang perempuan yang obrolannya nggak pernah selesai. Akhirnya tim gue berempat (tim nongkrong) bisa kumpul lengkap lagi setelah dua hari kepulangan Vian dari US. Kali ini tempatnya bukan club, melainkan kafe Good Vibes Only yang konsepnya kafe rumahan dengan nuansanya yang bikin tenang. Biasanya pembicaraan kami akan lebih serius sebab ditemani segelas robusta susu bukan wine atau minuman lain yang memabukan.

"So, the topic is about how Shana has become your ex and we don't know about it?" Vian tertawa hambar waktu mendapat opening yang to the point dari gue.

"Actually, I didn't include her in my ex-list..." dia menggantung ucapannya sebelum melirik ekspresi kami bertiga. Emang kurang ajar koko yang nggak pernah mau mengakui ke-chindoannya ini. Bilang mantan, tapi tidak memasukannya ke dalam list mantan itu gimana?

Oh ya, gue udah bilang belum kalau selain Vian ini seorang kristiani yang entah taat atau nggak, dia juga punya darah tionghoa namun lebih bangga mengaku sebagai orang Surabaya asli, son of a wealthy conglomerate in Surabaya.

"SMA pacarannya yang masih main-main gitu. Lagian yang tahu Shana mantan gue bukan cuma lo doang kali," lanjut Vian sambil menggunakan gestur wajah menunjuk Dipta. Gue saling bertukar pandang dengan pria di samping gue. Dipta, si paling diam-diam menghanyutkan.

"Gue kenal dari dating apps udah lama, terus ngobrol-ngobrol ternyata dia kenal si Vian karena katanya mantan pas SMA. Dia pernah nayain lo juga, Tha. Lihat dari foto di instagram gue yang abis maraton di Singapura tahun lalu. Dia kayak punya obsesi aneh gitu ke lo, nanya-nanya soal lo mulu. Circle-nya juga pasti banyak yang lo kenal."

"Just be careful, Bro," tambah Vian seolah ada yang tidak ia ceritakan.

"Kayaknya ada topik yang lebih menarik dari Shana." Bima kini yang bicara.

"Siapa?" tanya gue bingung.

"Shafira, your new secretary." Gue kontan melirik ke arah Vian, satu-satunya yang tahu nama tersebut karena gue salah kirim kemarin. Emang udah pirasat, topik itu akan menjadi bahan pembicaraan satu tongrkongan. Gue mencoba memasang wajah biasa aja.

"Sekretaris gue, Mbak Indah. Dia cuti melahirkan, dia menunjuk salah satu staf gue untuk menggantikan posisinya selama cuti, that's it." Entah keberapa kalinya gue menjelaskan hal tersebut ke orang-orang.

"Udah berapa lama?" tanya Dipta.

"Apanya?"

"Nah, kan. Mencurigakan."

"Ya, berapa lama apanya? Berapa lama Mbak Indah kerja sama gue, berapa lama dia cuti, berapa lama sekretaris baru itu gantiin, atau apa? Pertanyaan lo yang spesifik dong!"

"Udah berapa lama sekretaris baru lo itu mulai kerja sama lo?"

"Hampir dua minggu. Kalau gue nggak salah hitung."

"Cantik?" Vian dan Bima hampir bersamaan menanyakan itu, rasa penasaran mereka terlihat lebih besar dari biasanya. Gue menghela nafas panjang, merasa risih membicarakan Shafira pada mereka. Nama yang nggak tepat untuk lidah-lidah pria semacam kami.

"Please, she's not the woman we deserve to talk about." Gue mencoba mengakhiri.

"Why?"

"Ya, karena dia... dia anak baik-baik. Kalau mau cari mangsa jangan bawahan gue lah, cari yang lain." Terlampau baik dan terlampau tidak peduli bedanya tipis. Poin penting yang menjadi nilai plus pada Shafira adalah sikapnya yang jarang bicara untuk hal-hal yang tidak perlu.

Kejadian kemarin aja, sekalipun gue melakukan hal-hal aneh di luar nalarnya, dia tidak pernah bertanya atau meminta penjelasan keesokan harinya. Gue nggak tahu seriuh apa pikirannya, tapi mulutnya yang terkatup rapat cukup membuat gue bisa datang ke kantor dengan wajah tanpa dosa setelah memintanya menelepon dan berbicara nggak jelas dua hari yang lalu.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang