DALAM asumsi gue, Hilya menjadikan komunitas ini sebagai keluarganya, lebih utama dari keluarga aslinya. Sesuai dengan perkataanya, saat sebuah keluarga nggak berfungsi sebagaimana semestinya, dia mencari keluarga lain di luar rumah. Jangan jauh-jauh pada orang lain, keluarga gue sendiri juga nggak berjalan dengan semestinya. Tanpa sadar gue menjadikan keempat teman gue, hobi, serta pekerjaan gue sebagai rumah.
Jauh dalam pikiran gue, gue berharap Sheina memilih orang-orang yang tepat untuk dijadikan rumah, sama seperti apa yang Hilya lakukan. Tidak mengorbankan masa mudanya untuk sesuatu yang sia-sia.
Pikiran panjang gue harus selesai saat kami berada dekat di pintu keluar, seorang pria mengenalkan namanya sebagai Rizki tatkala kami keluar dari sana. Pria muda yang memiliki tatapan cerah secerah Bogor hari ini. Dia tersenyum ramah dan langsung dihampiri anak-anak panti sesaat setelah kami berjalan keluar dari wahana Safari Dino.
Sosok Rizki seolah lebih menarik dibandingkan objek yang tengah mereka pegang satu-satu. "Maaf jadi merepotkan, ngomong-ngomong mainan mereka...?" pertanyaanya terjeda namun gue dapat merangkum keseluruhannya.
"Di beliin Kak Athaya," Hilya memberikan jawaban lebih dulu. Mungkin strategi pemasarannya memang seperti itu, setelah wahana Safari Dino itu selesai, sepanjang jalan keluarnya kami disuguhi berbagai macam boneka, mainan berupa miniatur-miniatur dinosaurus, merch JungleLand, topi, hingga pakaian.
Anehnya, tatapan si paling kecil yang mengelus-elus punggung miniatur Brontosaurus menari-nari dalam pandangan gue. Membuat gue nggak mungkin membiarkan mereka keluar tanpa membelikan mereka sesuatu apapun untuk dijadikan kenang-kenangan.
"Kalau gitu, nanti saya bilang ke ketua acara perihal penggantian dananya. Maaf jadi merepotkan."
"Nggak usah, saya memang ingin membelikannya secara pribadi," lalu jawaban itu membuat Rizki mengucapkan terima kasih ke gue berkali-kali. Lagipula gue bisa membayangkan bagaimana Abyan menertawakan gue nanti saat mengetahui gue meminta ganti rugi hanya untuk beberapa miniatur itu.
Setelah anak-anak diambil alih oleh Rizki dan Hilya, gue memutuskan untuk berteduh di dekat kafe di mana Shafira dibawa tadi. Sejujurnya gue ingin masuk dan menunggu di dalam setelah menyadari panasnya Bogor mulai keterlaluan, atau mungkin gue lebih ingin memastikan bagaimana kondisi Shafira dengan mata kepala gue sendiri. Sayangnya kehadiran gue akan jadi tanda tanya besar untuk mereka yang ada di dalam.
Gue sempat mengecek kembali beberapa momen yang berhasil gue abadikan hari ini. Hingga kegiatan gue terusik karena ponsel gue kerasa geter. Ah, work even bothers me on weekends.
Gue membacanya sekilas sebelum akhirnya terjeda karena beberapa menit kemudian Shafira terlihat keluar dari tempat tersebut sambil membawa sesuatu dan menyerahkannya ke gue.
"Apa ini? saya nggak pesan makanan."
"Ucapan terima kasih." Oh, bahkan gue baru sadar kalau lambung gue memang belum mencerna apapun sejak pagi.
Mungkin teman-temannya yang memberitahu bahwa gue yang menolongnya. Rupanya Shafira tipe orang yang nggak suka punya hutang budi ke orang lain.
"Thanks, ya, Ra. Tahu banget lagi laper." Gue menerima bingkisan yang gue tebak isinya pancakes sama frappucino green tea. Habis wanginya langsung memikat hidung gue.
"Is there any problem?" Dia menyadari layar ponsel gue yang masih menyala.
"No, cuma ada tugas perdin, baru masuk emailnya. Gantiin Pak Jo ke KL selama empat hari. Ini notif-nya baru muncul di Outlook saya. Senin pagi harus udah ada di sana. Paling flight besok pagi atau siangan." Gue menjelaskan agak rinci supaya dia nggak ikut-ikutan ngecek schedule gue juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...