Bagian 42

11.2K 2.3K 261
                                    

KALAU dipikir lebih panjang, menggantikan Pak Jo ke Osaka lebih baik dibandingkan Pak Jo yang tetap ke Osaka, tapi minggu depannya dia mengambil cuti full dua minggu untuk menemui putra sulung dan cucunya di Jerman. Dua minggu yang akan menjadi malapetaka bagi gue karena pada akhirnya gue yang harus menggantikan semua pekerjaannya juga. Termasuk pekerjaan yang mengharuskan gue bolak-balik bandara selama dua Minggu penuh kalau ada kerjaan lain yang mengharuskan gue ke luar negeri.

Gue memberikan jawaban menggantung, karena flight ke Osaka adalah sesuatu yang jelas akan banyak menunda pekerjaan gue yang lain. Setelah mengakhiri panggilan tersebut, caddy golf yang sedari tadi menunggu gue selesai bertelepon lagi-lagi menghampiri. Gue tidak lagi menitipkan barang-barang gue pada perempuan tadi, namun mengambil alih sisanya dengan alasan gue udah selesai bermain golf.

Ketika gue menghampiri Pak Abinaya dan teman-temannya yang sepertinya masih asik membahas seputar topik pernikahan anak-anaknya. Gue pamitan pada mereka dengan dalih pekerjaan dan mendapat telepon dari Pak Jo barusan. Tak sepenuhnya semua yang gue katakan adalah kebohongan, karena faktanya Pak Jo memang menelepon gue soal pekerjaan.

Tepat saat gue tidak punya tujuan dan kegiatan lain di weekend ini. Gue mendapat ajakan untuk bertemu dengan Abyan nanti malam setelah maghrib. Dari nada suaranya ditelepon yang terdengar agak berbeda dari biasanya, sepertinya Abyan sedang menghadapi sesuatu yang cukup rumit sehingga dia membutuhkan orang lain untuk mendengarkan apa yang sedang dia alami.

Sering kali gue heran dengan diri gue sendiri, kadang gue menjadi "tempat sampah" untuk orang lain. Ya, tempat sampah. Orang-orang disekitar gue banyak menceritakan masalah pribadi mereka ke gue, entah itu tentang pekerjaan, tentang percintaan, bahkan tentang keluarga. Beberapa dari mereka juga sering meminta pendapat atau saran untuk masalah-masalah yang bahkan nggak pernah gue alami. Gue bahkan pernah menjadi konsultan untuk hubungan yang sudah berada di ambang batas perceraian. Padahal, gue belum pernah berada di posisi tersebut. Menikah saja belum, apalagi bercerai.

Orang-orang menceritakan hidupnya ke gue, tapi gue jarang bahkan nyaris nggak bisa menceritakan tentang hidup gue pada orang lain. Namun meskipun begitu, banyak hal yang kadang jadi pembelajaran untuk hidup gue dari berbagai cerita yang gue dengar.

Sorenya gue merasa agak aneh, karena Abyan mengirimkan lokasi untuk bertemu di salah satu mall yang lumayan deket dari apartemen gue yaitu di Blok M Square. Gue merasa aneh karena biasanya yang mengajak gue bertemu di mall adalah perempuan-perempuan yang gue ajak dating pertama kali, karena selain tempatnya lengkap ada bioskop dan tempat makan juga, mereka senang bertemu di mall karena bisa sekalian belanja.

Setelah gue menginjakkan kaki di tempat yang dimaksud, gue menemukan sosok Abyan di antara kursi-kursi yang ada di rumah makan Solaria itu, duduk termenung sambil membuka sebuah buku kecil yang gue tebak adalah Al-Quran ukuran poket. Rambutnya yang basah menandakan dia baru saja menunaikan salat Magrib mengingat ada masjid di lantai tujuh Mall ini.

Gue mengucapkan salam pertama. Bukan sebuah perubahan yang signifikan, tapi karena gue tahu siapa lawan bicara gue. "Assalamualaikum, Bro. Tumben nih ngajak ketemuan di sini." Gue menarik sebuah kursi di seberangnya.

"Jangan bilang lo sengaja ngajak ketemuan gue di sini karena lo pengen makan nasi goreng Solaria doang," sambung gue.

Gue cukup ingat makanan favorit Abyan dari semenjak zaman kuliah adalah nasi goreng, karena memang hanya nasi goreng abang-abang pinggir jalan yang dulu mangkal tepat di jalan depan kosannya Abyan. So far, nasi goreng di Solaria memang enak. Abyan menjawab salam gue terlebih dahulu sebelum menanggapinya.

"Nggak salah sih, tapi nggak bener juga. Gue memang pengen makan nasi goreng. Tadi gue nggak sengaja mengajak lo untuk ketemu di sini karena sebenarnya gue baru selesai kajian dari habis ashar sampai menjelang magrib barusan. Biar jaraknya deket aja."

Gue mengamati gelagat Abyan sebentar. "Bentar-bentar.... Bau-baunya nih, ada yang lagi patah hati. Lagi ada keresahan apa lo? Kebetulan banget nih, gue juga memiliki keresahan yang kayaknya perlu gue diskusikan sama lo."

"Not something to worry about, dibilang lagi patah hati, nggak juga. tapi agak sedikit sedih aja sih. Keresahan lo apaan emang? Gue kira anak sulung yang punya Nata Adyatama nggak punya keresahan." Gue berdecak malas mendengar argumennya, orang sekelas anak presiden saja pasti punya keresahan, apalagi gue. Manusia mau sekaya atau setajir apapun akan tetap punya keresahan, karena memang naluriah manusia yang selalu mengkhawatirkan banyak hal.

"Lo dulu deh, apa yang bikin agak melow begitu?"

"Perempuan yang pernah gue lamar, Kinan. Tadi pagi gue habis nganter dia dan nyokap nya ke stasiun, pada akhirnya dia memutuskan untuk pindah meskipun ya... itu bukan karena masalah percintaan, karena kerjaan bokapnya. Gue ngerasa sedih aja karena jadi ada jarak. Lo sendiri kenapa?"

"Ini aneh banget, sumpah. Akhir-akhir ini gue merasa risih kalau lihat perempuan yang pakaiannya terlalu pendek. Maksud gue ya lo tau sendiri lah, gue disuguhi perempuan macam itu yang ada malah senang tapi akhir-akhir ini gue malah merasa risih aja lihatnya."

"Bagus dong, itu tandanya iman. Secara nggak sadar kalau mulai mengingkari kalau perempuan yang menampakan auratnya itu nggak boleh lo liat."

"Gue tadi pagi ketemu Shafira juga di stasiun."

"Ini nggak ada kaitannya sama Shafira ya!"

"Lah, siapa juga yang bilang ada kaitannya sama Shafira, sensi banget lo!" Abyan tertawa dengan nada mengejek, seolah ada maksud lain yang tidak tersampaikan dalam tawanya.

"Tadi pagi gue sempat mengobrol dengan Shafira dan menanyakan soal kesibukan lo, sebelum gue memutuskan menelepon lo dan ngajak lo buat ketemu. Katanya Minggu depan lo bakal ada kerjaan di Osaka, ya?" Ah benar juga, Pak Jo menghubungi Shafira lebih dulu dibandingkan menghubungi gue. Jelas Shafira juga sudah tahu soal itu.

"Belum gue iya-in sih, gue harus flight Sabtu depan, sekitar sepuluh hari di sana. Kenapa memangnya? Lo ada kerjaan juga ke Osaka juga?

"Mana ada, jam terbang gue belum sebanyak lo yang kerjaannya keliling dunia tiap minggu. Rencananya hari minggu depan gue mau mengajak lo untuk menjadi saksi, karena sebelumnya lo yang kenal duluan sama Vian, gue rasa akan lebih dia akan senang kalau dia ditemenin sama lo juga."

"Saksi? Dia mau married?"

"Dia mau login ke Islam, Tha."

__________

To be continued.

Judul novel yang pas buat kisah cintanya Vian apa nih? Udah log in aja dia. 😌

Make the Qur'an as the main reading.

Make the Qur'an as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang