SEKITAR setengah jam kemudian, terdengar bel apartemen gue ditekan lagi, akan tetapi yang muncul dan mengantarkan semua pesanan gue—obat beserta makanan—bukan Shafira. Melainkan mas-mas pegawai Batavia Residence yang sejak awal mengantar Shafira tadi. Karena Nalea yang membukakan pintu, gue hanya bisa menyimpulkan semua itu dari suara laki-laki yang terdengar.
"Siapa yang nganter?" tanya gue.
"Mas-mas yang tadi aku lihat di lantai satu."
"Kenapa nggak Shafira yang ke atas, ya? Padahal laporannya udah selesai aku cek dan tanda tangan semua."
"Ya udah sih, nggak apa-apa. Mungkin memang laporannya nggak diminta sekarang. Mending kamu makan dulu, setelah itu minum obat supaya demamnya bisa cepet reda." Nalea mulai membuka satu persatu bingkisan itu dan menyiapkan segalanya.
"Bentar ya, aku telepon Shafira dulu." Gue memaksakan diri untuk mengambil handphone yang tadi lagi di charger nggak jauh dari tempat gue duduk.
Sengaja gue mengambil sendiri karena nggak mau merepotkan Nalea. Gue juga menelepon Shafira di hadapan Nalea. Lagi pula ini bukan pembicaraan yang mesti dirahasiakan.
"Halo, Ra? Kenapa kamu malah minta mas-mas tadi yang nganterin ke atas? Katanya mau kamu anterin sendiri. Laporan yang kamu bawa tadi, udah selesai saya tanda tangani semua. Nggak sekalian kamu bawa lagi ke kantor?"
"Tadi saya udah bilang. Kalau saya akan bilang ke Pak Jo bahwa Anda sedang sakit. Jadi laporan itu nggak harus dikasih ke Pak Jo hari ini."
"Yakin? Bisa emang melobi Pak Jo?
"Yakin, seratus persen. Udah, fokus aja buat cepet sembuh, biar kerjaan saya nggak jadi banyak. Karena ini masih jam kerja, saya harus kembali lagi ke kantor." Suaranya terdengar agak kesal. Kalau dia ada di sini, gue bisa langsung menebak isi kepalanya hanya dengan melihat mimik wajahnya.
"Sebentar... Presentasi hari ini jadinya gimana? Ditunda atau gimana?"
"Tadi saya yang mewakilkan presentasi, berdoa aja supaya hasilnya nggak mengecewakan." Gue membayangkan bagaimana Shafira yang jarang mau berinteraksi sosial, harus mempresentasikan hal sepenting itu hadapan orang-orang. Tapi kadang orang -orang pendiam, justru punya skill public speaking yang nggak terduga.
"Kalau begitu saya tutup teleponnya ya, saya sibuk. Assalamualaikum."
Panggilannya terputus bersamaan dengan gue yang menjawab salamnya sambil tersenyum. Kayaknya hanya Shafira yang marah dan ngomelnya bisa bikin gue senyum-senyum sendiri kayak orang nggak waras. Dia mengomel karena kerjaannya menjadi berlipat ganda gara-gara gue nggak masuk aja, kedengarannya tetap gemesin.
"Shafira bilang apa? Kayaknya kamu seneng banget," tanya Nalea membuat gue menyadari bahwa masih ada Nalea di tempat ini. Mungkin dia menyadari lengkung sabit di bibir gue terlalu lebar. Sejujurnya gue agak canggung dengan kehadiran Nalea di sini. Setela sekian lama menghabiskan waktu tanpa berinteraksi, pembicaraan kami jadi agak kaku.
"Bukan apa-apa, dia cuma bilang kalau dokumennya bisa sekalian besok aku bawa ke kantor. Dia minta aku fokus buat sembuh dulu aja, biar beban kerjanya nggak jadi dua kali lipat." Nalea hanya mengangguk tanpa berkomentar. Dia sibuk menyajikan makanan ke piring agar gue bisa segera makan.
"Ngomong-ngomong, ini jam berapa ya?" Di ruang tengah gue nggak ada jam dinding, bodohnya gue malah menanyakan jam pada Nelea padahal masih ada handphone di tangan gue.
"Baru jam dua, kenapa memangnya?" Mendengar itu seketika gue mengusap kening sendiri. Gue kira ini masih tengah hari.
"Astagfirullah! Aku belum salat zuhur." Gue terburu-buru men-charger kembali handphone itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...