Bagian 73

11.9K 2.5K 1.1K
                                    

DAMPAK dari bertemu Shafira dan Hazm sepertinya agak berbahaya buat gue dan Sheina. Dampak ke arah yang lebih baik tentu saja. Gue nggak merasa perubahan gue didasari oleh perasaan yang gue miliki pada Shafira, karena sejatinya gue nggak pernah mau memperbaiki diri untuk orang lain. Namun seringkali takwa mereka berdua menjadi patokan untuk gue. Intinya gue pengen bisa setaat dan seberiman mereka, bahkan kalau bisa lebih.

Dampak pada Sheina lebih parah, karena bukan soal agama saja. Hari ini dia mendadak ikut-ikutan pengen memanggil gue dengan panggilan "Abang". Padahal sebelum-sebelumnya dia memanggil gue dan sebutan "Kak".

Gue menolak terang-terangan untuk dipanggil dengan panggilan tersebut, karena gue merasa dipanggil seperti abang tukang bakso yang mangkal di pinggir jalan. Mungkin kalau Shafira yang memanggil kakaknya seperti itu, terdengar lebih elegan, tapi kalau Sheina yang manggil, kedengarannya nggak banget.

Bagian positifnya Sheina langsung ingin ikut menghadiri majelis ilmu, saat tahu Shafira juga sering datang ke kajian. Semangat hijrahnya lebih menggebu-gebu dibandingkan gue. Baru Minggu lalu di kajian yang gue hadiri, ustaznya membahas tentang dosa-dosa yang sudah dianggap biasa oleh manusia di jaman sekarang.

Tentang riba, tentang isthibtha, tentang larangan bersentuhan dan berduaan dengan lawan jenis yang disandingkan dengan  kepala yang ditusuk pasak pesi daripada melakukannya. Minggu depannya, gue malah melakukannya. Meski di mall gue nggak mungkin berduaan sama Nalea.

Bukan karena takwa gue masih setipis kapas, jujur saja gue juga sudah sangat-sangat merasa tidak nyaman untuk melakukan itu, tapi gue juga udah terlanjur berjanji untuk menemani liburannya selama di sini. Mengajak Sheina untuk menjadi orang ketiga, nggak berhasil. Dia nggak begitu akrab dengan Nalea, bahkan nyaris nggak pernah bicara.

Sudah dari seminggu yang lalu, film yang disukai Nalea rilis dan tayang di Indonesia. Sudah berkali-kali juga gue mencoba menolak ajakannya untuk menonton bioskop dengan berbagai alasan soal pekerjaan. Namun karena rasa tidak enak menolak ajakan orang lain itu, pada akhirnya gue tetap mengiyakan, tetapi sebisa mungkin gue menghindari melakukan kontak fisik dengan Nalea. Meskipun itu hanya sekadar berpegangan tangan.

Gue sengaja membeli dua popcorn dengan ukuran bucket beserta minumannya untuk membuat tangan gue repot. Sehingga gue tidak perlu menggenggam tangannya Nalea dengan tidak membuatnya merasa tersinggung. Namun ketika kami berdua hendak menuju pintu masuk bioskop, Nalea malah dengan sengaja menggandeng tangan gue duluan.

"Shafira cuti buat kencan, ya, hari ini?" Dia menyapa seseorang yang belum gue kenali sosoknya. Ternyata Hazm dan Shafira juga hendak menonton film yang sama bahkan sepertinya di ruangan yang sama. Gue jadi merasa agak kaku bertemu dengan mereka berdua saat gue sedang bersama Nalea.

Sepertinya ini menjadi kebaikan kedua yang gue lihat dari Hazm, karena sejak awal kedatangan kami berdua, matanya sama sekali tak tertarik untuk melihat ke arah Nalea. Tetapi sepertinya ini menjadi keburukan pertama yang justru Hazm lihat tentang gue. Belum halal saja sudah sangat berani menggandeng anak orang.

Karena Shafira dan Hamz tidak kunjung berbicara dan mungkin merasa aneh dengan situasi ini, akhirnya gue yang memberikan jawaban.

"Dia kakaknya," jawab gue.

Hari ini Shafira memang mengambil cuti dengan alasan dia sudah membuat janji temu dengan wedding organizer untuk pernikahannya dan merasa tidak nyaman apabila harus mengatur ulang jadwal tersebut karena dia harus menyesuaikan dengan schedule-nya Rafif. Mau nggak mau, gue harus mengizinkannya cuti  saat pekerjaan gue sedang banyak-banyaknya.

Konyolnya kami membuat kesepakatan untuk bisa bergiliran melakukan cuti. Shafira cuti di hari ini dan rencananya gue akan cuti di minggu depan untuk menemani Nalea liburan ke Bali.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang