TUBUH ini baru menyentuh tempat tidur sekitar pukul dua tengah malam tadi setelah kepulangan gue dari Brunei. Terbangun pukul tiga untuk kemudian sholat malam, terjaga hingga subuh untuk memenuhi panggilan azan. Nggak ada waktu untuk terlelap lagi, sebab jam enam pagi gue sudah harus menjemput Nalea untuk segera ke bandara. Tentu saja gue nggak sanggup kalau harus menyetir sendiri, mau nggak mau gue di antar Pak Iman.
Tiap kali ngerasa lelah banget sama kerjaan, lelah banget sama hidup, gue selalu teringat. Oh iya, ya, dunia kan memang tempatnya lelah.
"Sini, biar aku aja yang bawa kopernya." Gue mengambil alih koper yang Nalea bawa. Mendorong due koper sekaligus—termasuk koper gue—menuju ke arah tempat check in.
"Koper aku lumayan berat, kita bisa pake jasa porter aja biar nggak repot," saran Nalea.
"Nggak usah, nggak apa-apa. Kapan lagi aku bisa dorongin koper Putri Parawisata Indonesia." Ucapan gue berhasil membuat Nalea tersenyum dengan pipi bersemu merah, padahal gue melakukannya supaya gue nggak harus menggenggam tangannya.
Pantai Geger Nusa Dua menjadi pilihan tempat liburan gue dan Nalea. Gue memesan dua kamar terpisah di hotel St. Regis Bali, hotel bintang lima yang paling dekat dengan pantai, bahkan akses jalan kaki aja nggak nyampe sepuluh menit.
Sejak awal keberangkatan, gue sudah melakukan berbagai cara untuk menghindari kontak fisik dengan Nalea, tentu saja menggunakan cara-cara yang nggak menyinggungnya. Seperti sengaja tidur selama penerbangan Jakarta-Bali supaya nggak banyak berinteraksi dengannya, ditambah hari itu gue memang cuma sempat tidur satu jam.
Booking hotel pun gue memesan dua kamar yang berbeda, meski masih di lantai yang sama biar nggak ribet bolak-balik kalau ada keperluan yang urgent. Setelah access card-nya sudah berhasil gue dapatkan, gue kembali menghampiri Nalea yang saat itu duduk menunggu di kursi tunggu lobi hotel.
"Kopernya nanti dibawain bellboy hotel ke kamar. Ini access card buat kamar kamu, dan kamar aku ada di sebelahnya." Nalea menerima access card itu dengan bingung.
Mungkin dia mengira gue hanya akan reservasi satu kamar hotel yang sama dengannya. Walau bagaimana pun, circle pertemanan gue lumrah melakukan itu. Meski nggak ngapa-ngapain, liburan biasanya selalu satu kamar. Itu dilakukan meski hanya sebatas teman, apalagi gue yang staycation bareng tunangan.
"Beda kamar?" Tanyanya meski tidak terlalu eksplisit. Gue menggangguk mengiyakan.
Mungkin dulu dia banyak mendengar gue sering check in hotel dengan perempuan lain yang baru gue temui sehari-dua hari, tapi dengannya gue malah memesan dua kamar yang berbeda. Semua itu kebodohan gue dulu, meskipun sebenarnya gue nggak melakukan apa-apa dan cuma berniat buat Papa marah aja. Namun tetap saja hal tersebut jelas salah dan gue nggak mau mengulanginya sekarang.
"Iya, kita tidur di beda kamar. Mata-mata Papa banyak dan tersebar di mana-mana."—Maaf, Pa. Aku harus menjual nama Papa kali ini.
"Papa kamu nggak akan sampai ngurusin liburan kita."
"Kita belum menikah, Ya... Nggak baik kalau selama liburan di Bali kamu satu kamar sama aku. Apalagi kalau sampai ada yang tahu. Aku nggak mau orang-orang ngomong jelek tentang kamu. Kalau sampai ada skandal yang enggak-enggak, itu juga akan sangat berpengaruh buat karir kamu ke depannya." Dia hanya menghala nafas sambil menggangguk pelan sebelum akhirnya kami mencari lift.
Gue nggak tahu lagi harus memuji Sang Pencipta pakai kata-kata sebagus apa. View dari kamar dengan ketinggian menyuguhkan pemandangan yang nggak main-main. Emang ciptaan Tuhan tuh nggak pernah ada yang gagal.
Masyaallah, lihat hamparan laut yang udah kayak karpet biru produksi Turky yang dibentangkan itu, membuat gue teringat kata-kata Ustaz yang masih membekas dipikiran gue hingga sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...