Extra Chapter 5B

17.2K 3.2K 2.6K
                                    

USAI menutup kembali pintu kulkas, gue menggaruk tengkuk meski tak gatal. Melangitkan banyak istighfar sebab bisa-bisanya gue malah lupa hal penting kayak gini. Berarti selama ini gue makan pake uangnya Shafira. Ini jatuhnya malah gue yang dinafkahi.

Gara-gara pekerjaan gue yang dipadatkan di minggu-minggu ini supaya bisa liburan dengan Shafira lebih lama, gue sampai lupa memberikan Shafira nafkah. Gue bahkan nggak punya waktu untuk mengantarnya belanja. Belum lagi bolak-balik mengecek kondisi rumah di Menteng. Gue kontan mengambil ponsel terlebih dahulu. Membuka internet banking secepat kilat dan mengirimkan uang ke rekeningnya. Gue perlu menggunakan dua akun bank yang berbeda karena limitnya yang terbatas.

"Ra... aku udah transfer buat kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan kamu. Maaf telat, ya. Hehe... aku lupa banget asli. Cek deh udah masuk belum? Beda bank biasanya suka agak lama masuknya." Dia membuka ponselnya dan seperti tengah menghitung. Sedetik kemudian matanya melotot melihat itu.

"Ya Allah, Tha! Kamu nyuruh aku belanja kebutuhan sehari-hari, apa nyuruh aku buka resto, sih? Ini banyak banget! Kamu nggak salah transfer? Kelebihan pencet nol-nya kali?" Gue mengirimkannya sesuai dengan nominal yang pernah gue katakan ke Om Adi.

"Nggak apa-apa... buat kamu. Sisanya buat beli baju-baju gemes." Dia hanya mendelik malas mendengar itu.

"Tapi ini kebanyakan. Ini bisa buat nafkah satu tahun. Konsepnya di rapel atau gimana, sih? Atau sama dana darurat juga? Uang buat Papa kamu gimana?"

"Dari sebelum menikah, aku memang ingin ngasih kamu segitu. Aku nggak bawa hantaran atau hadiah apapun waktu nikah. Jadi kamu bisa pake uang itu untuk beli apapun yang kamu mau. Bulan depan tentu nggak akan sebanyak itu. Nggak usah khawatir soal dana darurat atau soal Papa. Diterima ya, aku nggak mau kamu nolak..."

Dalam hati gue bergeming, Papa udah nggak butuh uang. Dia hanya akan tertawa kalau gue transfer uang. Orang Papa titipan hartanya lebih banyak dari gue. Shafira hanya menghela nafas panjang dan kembali menaruh handphonenya ke tempat semula.

"Bener nih kata Abyan, kayaknya aku bisa buka bisnis baru setelah nikah sama kamu."

"Boleh tuh, buka resto mungkin? Masakan kamu enak."

"Aku bercanda, Athaya..." Gue tertawa. Shafira kalau lagi kesal pasti memanggil nama panggilan gue secara utuh. Dia membuka kulkas bagian bawah, mengeluarkan beberapa bahan makanan untuk di olah.

"Hari ini kita mau masak apa?"

"Aku mau bikin nasi dulu, nasinya aja belum ada."

"Hmm... hari ini kita akan masak..." Dia mengecek ponselnya lagi yang terletak nggak jauh dari tempat gue berdiri. Gue kira dia mengintip resep, ternyata dia sudah membuat list daftar makanan yang akan dia buat untuk dua minggu ke depan.

"Hari ini kita bikin udang goreng mentega, bakwan sayur, sup macaroni wortel, sama buah-buahannya ada melon." Gue takjub dengan daftar menu yang dia buat di excel, lengkap dengan perhitungan energi, protein, dan lemaknya.

"Kamu sengaja bikin kayak gini? Rajin banget..."

"Hal yang paling bikin pusing semua istri dan ibu di dunia ini cuma satu pertanyaan, besok masak apa? Makanya aku bikin list biar nggak pusing dan nggak repot kalau mau belanja." Gue mendengarkan jawaban itu tanpa mengalihkan pandangan darinya.

"Kamu bisa bantu aku kupas melon, dan potong sayur-sayuran juga. Kupas bawang merah juga deh. Aku mau bikin sambal..."

"Siap, Chef..." ucap gue sambil mengambil pisau dapur dan talenan. Beberapa alat-alat masak, baru gue punya setelah menikah. Itu juga Shafira yang beli.

Gue mulai mengupas bumbu yang kecil-kecil dulu, mulai dari bawang merah dan bawang putih. Menaruh beberapa yang sudah di kupas mulus di dialasi tisu makan, sebab kami kekurangan mangkok. Setelah mencuci beras dan memasukannya ke dalam rice cooker, Shafira kembali menghampiri gue dan memperhatikan kegiatan kupas mengupas itu.

"Gimana? Bagus kan hasilnya?" Gue meminta validasi yang konyol itu. Padahal semua bawang yang di kupas bentuknya ya sama aja.

"Great, kamu udah cocok jadi cook assistant..." katanya sambil tertawa. Shafira mengeluarkan apron dari salah satu laci. Dia menyerahkannya ke gue untuk dipakai, karena saat itu gue masih pake kemeja kerja, juga celana bahan. Cuma dasi yang gue lepas.

Apron di apartemen juga cuma ada satu. Dibandingkan gue yang hanya akan mengupas bawang dan memotong sayuran, kayaknya Shafira lebih butuh apron itu. Bajunya bisa terkena minyak atau air selama proses memasak. Gue memasangkan apron itu padanya.

Tubuhnya mematung hebat ketika gue malah memakaikan apron itu dari belakang, saat dia sedang mencuci sayur-sayurannya terlebih dahuulu. 

"Sayang kan, kalau udah cantik-cantik gini bajunya basah..." bisik gue tepat di telinga kanannya.

"Astagfirullahaladzim... Athaya!" Gue tertawa dan kembali melanjutkan kegiatan mengupas sisa bawang itu tanpa rasa bersalah.

Hal kedua yang menjadi ciri kalau Shafira lagi kesal selain menyebut nama panggilan gue secara lengkap, dia juga akan menyebut kalimat istighfar secara lengkap.

__________

To be continued.

Athaya terdeteksi nasabah BCA prioritas nih. 😆 Transfernya pake RTGS di Klik BCA. Biar bisa transfer ber-ember, ya, Tha.

Panjang banget ini extra chapter udah nyampe 5B. 😭

Spam komennya, yuk. 🦕🦕🦕

Kamu juga boleh banget tag aku di Instagram @amimomile kalau nemu perdinoan di dunia nyata. 📌

Make the Qur'an as the main reading.

Make the Qur'an as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang