Bagian 56

11.9K 2.6K 982
                                    

SENGAJA meeting dengan Prasada Group hari itu gue percepat agar Shafira tetap bisa bertemu dengan Rafif tepat waktu. Gue tidak memindahkan tempat meeting ke Grand Plaza untuk membuat Shafira batal menemui tunangannya. Gue tidak sejahat itu untuk memisahkan mereka berdua meski gue menyukai Shafira. Biarkan Tuhan yang memisahkan mereka, kalau memang mereka tidak berjodoh, dan semoga saja begitu.

Kami memilih menggunakan eskalator karena antrian lift yang tidak manusiawi. Mungkin karena besok weekend, Mall terasa lebih sesak dari biasanya. Shafira bilang dia janjian di lantai dua, semesta gue harus kembali ke lantai lima untuk mengambil mobil di parkiran 5A. Gue mendadak teringat kontrak kerja Shafira sebagai sekretaris gue yang hanya tiga bulan.

"Kontrak kerja kamu berapa lama lagi?" tanya gue memastikan langsung pada Shafira yang pasti lebih ingat dengan kontrak kerjanya sendiri.

"Dua minggu lagi, tapi karena sekarang udah hari Jumat berarti tinggal satu minggu lagi."

"Kenapa nggak bilang sama saya dari sebulan yang lalu. Pengajuan revisi atau kontrak kerja baru ke bagian HRD itu nggak bisa cepet prosesnya."

"Memangnya kontrak saya mau diperpanjang?" tanyanya. Membuat gue balik bertanya.

"Kamu nggak mau kontrak kerjanya diperpanjang? Nikahnya kapan, sih? Memangnya mau langsung resign kerja setelah menikah?"

"Saya belum membicarakan sejauh itu." Dia terlihat masih bingung mengambil keputusan soal karirnya.

"Mbak Indah udah mengajukan surat resign-nya. Dia nggak akan balik lagi ke kantor. Saya akan merevisi kontrak kerja kamu sampai saya nemu sekretaris yang baru. Mungkin sekitar satu-dua bulan lagi. Kamu masih bisa bekerja, sampai kamu yakin keputusan mana yang akan kamu ambil. Gimana?" Gue mencoba memberikannya solusi. Shafira sangat antusias dengan opsi yang gue tawarkan.

"Deal," katanya, dia langsung menyetujuinya. Mendengar hal tersebut gue asumsikan kalau pernikahannya masih lama, masih lebih dari dua bulan lagi. Dilemanya akan bertambah kalau dia akan menikah dalam waktu dekat.

Tepat ketika eskalator sampai di lantai dua, seseorang memanggilnya dan menghampiri kami. Rafif terlihat datang bersama perempuan yang gue tebak adalah ibunya. Mungkin mereka enggan jika harus bertemu berduaan saja. Sungguh pasangan yang nampak sangat sempurna dan sama-sama paham urusan agama. Benar-benar definisi darj jodoh cerminan diri.

Melihat gue, Rafif lantas mengenalkan gue pada ibunya. Entah dia memang seramah itu atau dia menghindari munculnya kesalahpahaman karena Shafira datang bersama gue.

"Ma, ini kenalin. Dia Athaya, plan manager-nya Nata Adyatama salah satu partner kerja ALP. Atasannya Shafira, sekaligus anaknya Pak Andre juga. Mama pasti kenal Pak Andre." Gue lantas menyedekapkan tangan merespon hal tersebut, memasang senyum paling ramah meski energi gue sudah terkuras habis setelah bekerja seharian ini.

"Pak Andreas Yudistira? Ah iya, anak sulungnya tante Nadira, ya? Pantesan dari tadi Mama perhatiin kok kayak kenal. Masyaallah, nggak nyangka kamu udah segede gini aja. Seumuran ya sama Rafif?" Padahal saat itu gue juga sedang berusaha mengingat-ingat nama ibunya Rafif yang mungkin pernah gue temui sebelumnya. Mendengar nama mamanya Sheina yang disebutkan, sepertinya sudah lama sekali gue nggak bertemu dengan mamanya Rafif.

"Iya Tante, saya seumuran dengan Afif."

"Gimana Papa kamu, sehat? Kemarin Tante sempat ketemu sama Ilyana di salon. Katanya adik kamu kecelakaan. Maaf ya, Tante belum sempat nengok. Mulai sibuk ngurusin dua insan ini nih, Afif sama Shafira," ucap ibunya. Gue menanggapinya dengan senyum kaku.

"Alhamdulillah, Papa sehat. Sheina juga udah mulai pulih. Om Erwin apa kabar? Nggak apa-apa kok, Tan. Saya juga minta maaf, Shafira nggak bisa pulang cepat gara-gara kerjaan saya." Thank God, setidaknya gue masih ingat nama bokapnya Rafif.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang