MATAHARI belum sempurna tenggelam, gue memutuskan kembali ke kantor setengah jam menjelang azan magrib. Disaat orang-orang dalam kemacetan berlomba-lomba untuk segera sampai di rumah, gue malah lagi on the way menuju kantor. Begini banget nasib. Gue nggak kepikiran gaji, bodo amat deh nggak digaji sebulan ini. Gue lebih kepikiran ke kerjaannya, nggak bisa meninggalkan kerjaan gitu aja tanpa kepikiran.
Gue mengatakan pada Pak Iman bahwa dia boleh pulang setelah mengantarkan gue ke kantor, karena kemungkinan besar gue bakalan overtime sampai malam banget. Kalau nanti gue masih kuat buat pulang, gue bakalan balik ke apartemen. Kalau pun nanti gue terlalu lelah buat nyetir sendiri, gue akan naik taxi atau nyari hotel yang deket buat nebeng tidur doang.
Asumsi gue, jam-jam segini Shafira pasti udah pulang, bahkan mungkin dari jam empat tadi. Pas nyampe lantai dua puluh pun, dari luar keliatan kalau ruangan gue udah redup. Gue bisa membicarakan masalah ini lebih lanjut dengan kepala dingin besok pagi pada Shafira, gue juga perlu minta maaf karena membentaknya tadi siang. Seenggaknya gue punya waktu buat menyusun kata-katanya sebelum berbicara besok.
Pikiran tenang itu masih mengisi kepala gue hingga gue menginjakkan kaki ke dalam ruangan dan membuat lampu ruangan itu menyala otomatis. Hampir saja gue berlari berbalik arah kalau saja sosok yang tengah duduk itu nggak berhasil gue kanali. Shafira tengah duduk di kursinya, dia mungkin nggak menyadari kalau lampu ruangan sudah seredup itu. Gue bahkan yakin, dia juga nggak memperhatikan kalau waktu sudah selarut ini.
"Saya nggak minta kamu buat overtime hari ini. Kenapa masih di sini?" tanya gue. Mungkin saat itu nada bicara gue salah, dan Shafira juga salah tangkap mendengarnya. Masalahnya dia langsung terlihat gugup dan agak takut setelah mendengar gue bicara. Padahal maksud gue, kenapa dia masih di kantor saat gue juga belum siap berbicara lagi dengannya. Gue belum menyusun kata-kata yang tepat dan enak di dengar untuk menyampaikan permintaan maaf.
"Sa-saya lagi menyusun MoM."
Hening menyelimuti kami beberapa saat. Gue juga bingung mau bilang apalagi.
"Saya benar-benar minta maaf atas keteledoran saya tadi siang. Saya nggak akan pernah mengulanginya lagi, saya janji. Kalau saya harus mendapat SP atau harus mengajukan surat resign, akan saya lakukan. Segala konsekuensinya akan saya terima," katanya, untuk kesekian kalinya mampu berbicara lebih panjang ke gue.
"Kamu masih mau kerja di sini?" Dia mengangguk pelan.
"That's the consequence. Sekarang pulanglah... Besok pekerjaan kita akan lebih banyak." Dia terlihat begitu lega saat gue mengatakan hal tersebut, padahal gue belum menyampaikan permintaan maaf, tapi tingkahnya sudah seperti separuh bebannya berhasil gue hilangkan.
Akhirnya gue berjalan masuk ke ruangan. Melihat kondisi meja kerja gue yang sepertinya lebih tertata dari terakhir kali gue tinggalkan. Beberapa dokumen yang gue minta dari tadi pagi juga sudah tertata rapi di sebelah kanan. Sepertinya Shafira sempat membereskannya.
Komputer gue masih dalam keadaan stand by, widget jam di layar komputer menyadarkan gue kalau sebentar lagi magrib. Kayaknya lebih nyaman kalau gue sholat dulu baru mengerjakan kerjaan yang tertunda. Biar muka gue juga agak seger abis kena air wudhu.
Gue melepas jas yang lagi gue pake dan menaruhnya di stand hanger yang nggak jauh dari meja, melepas kancing lengan sebelum melipatnya setengah siku, jam tangan juga gue lepas dan gue taro di laci meja biar nggak ketinggalan di masjid.
Gue kira Shafira langsung pulang saat tadi gue suruh pulang, namun waktu gue hendak keluar, gue masih melihat lampu di luar ruangan menyala, tanda dia masih ada. Gue bahkan sempat mendengar dia bergumam sendirian ketika hendak keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...