TIDAK banyak yang berubah dari rumah yang pernah gue tinggali selama kurang lebih enam tahun dari SMP ke SMA di kawasan Menteng ini. Desain interior maupun bangunannya masih nampak sama, mungkin yang membedakan hanya beberapa renovasi dan warna cat yang berbeda serta small garden yang lebih hijau dari sebelumnya. Meskipun Papa sibuk, dia memiliki hobi baru sejak keluarga ini berantakan. Papa banyak mengoleksi dan menanam beberapa tanaman hias. Mungkin itu salah satu cara mengalihkan pikirannya dari berbagai masalah yang dia hadapi.
Waktu gue masuk ke bagian dalam rumah itu, beberapa lukisan milik Mama masih dipajang di beberapa tempat dengan terawat. Sependek ingatan gue, tidak ada yang berkurang dari lukisan-lukisan tersebut. Bahkan foto keluarga—jika ini masih layak dikatakan keluarga—juga masih mengisi dinding bagian kanan ruang utama. Ternyata perlu bertahun-tahun untuk membuat gue siap menginjakkan kaki kembali di rumah ini.
"Udah makan gini, aku jadi ngantuk lagi. Ada yang mau jadi relawan bantu aku naik ke lantai atas? Lihat tangganya aja aku udah kebayang rasa sakitnya." Kami memang sempat mampir di salah satu restoran pilihan Sheina sebelum pulang tadi. Bagaimana tidak kenyang, dia menghabiskan dua porsi kepiting kenari sendirian. Namun, kali ini sepertinya dia tidak lagi pura-pura sakit supaya gue bantu.
"Tunggu sebentar, Papa naro tas ini dulu."
"Sama aku aja. Ayo naik ke atas." Gue menghampiri Sheina lebih dulu. Dia bangkit dari sofa dan berjalan menuju anak tangga yang didesain dengan kaca dan kayu itu. Satu tangannya berpegangan ke gue, satunya lagi memegang erat pegangan tangga.
"Pelan-pelan aja," gue mengatakan itu setiap kali Sheina meringis setelah menaiki beberapa anak tangga. Lama-lama gue tidak tega juga melihatnya kesakitan hanya karena naik tangga.
"Pegangan." Sheina nampak kaget ketika gue tiba-tiba menggendongnya. Tangannya secara otomatis berpegangan ke pundak dan leher gue. Semoga saja kami berdua tidak jatuh di pertengahan, karena jujur Sheina terasa lebih berat saat itu. Mana gue sudah lama banget tidak melatih massa otot.
Gue menggendongnya hingga membaringkannya di tempat tidur. Dulu kamar ini didominasi warna merah muda, sekarang warnanya lebih tenang karena lebih banyak warna abu-abu. Gue menyelimuti setengah tubuhnya sebelum mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu panas.
"Kamu nggak ada obat yang harus diminum sekarang, kan?" tanya gue, sebelum dia menutup kedua matanya.
"Nggak ada, nanti malam. Semua obatnya cuma diminum dua kali sehari kok," jawabnya santai.
"Ya udah, tidur. Istirahat..." Gue hendak meninggalkan ruangan itu, sebelum ucapan Sheina membuat gue mematung sesaat.
"Kenapa Mama nggak keluar kamar, ya? Padahal pasti senang banget kalau tahu Kak Atha pulang."
"Hah? Gimana?" Gue memastikan kalau gue tidak salah dengar. Sheina membahas soal Mama, gue jadi teringat semua obrolan gue dengan Shafira di Mossery. Dia bilang Sheina bisa saja melupakan kejadian yang menimpa Mama.
Sheina membuka matanya dan menoleh ke gue. "Mama... Dia pasti senang kalau tahu anak sulungnya pulang." Gue termenung, Shafira benar.
Sheina sama sekali nggak ingat apa pun tentang kejadian yang menimpa Mama. Dia menjalani hidup seolah Mamanya masih ada. Gue hanya melempar senyum kaku dan tidak mengatakan apa pun lagi. Setelah pintu kamarnya tertutup, gue masih berdiri di sana.
Sulit untuk membayangkan bagaimana jadinya kalau suatu hari nanti Sheina mengingat dan menyadari semuanya. Mungkin dia akan sangat marah ke gue. Sekarang semua tingkah lakunya terasa jelas, dia bisa bersikap baik ke gue karena dia tidak menyadari kalau gue yang menyebabkan ibunya tidak ada. Udara terasa menjauh. Berhasil membuat gue agak sesak saat itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/314807778-288-k392635.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...