BERBINCANG dengan Mas Dean dan Bu Rina, membuat gue terlena sesaat. Kenyataanya hubungan keluarga dan asmara gue nggak sesederhana yang orang-orang pikirkan. Seseorang dengan hoddie putih sudah berdiri di depan pintu ruangan gue dengan seragam sekolahnya, membuat gue tersadar akan realita hidup yang lagi gue hadapi. Siapa lagi kalau bukan Sheina, setelah sekian lama gue nggak menerima teror pesan dan panggilan telepon darinya, akhirnya dia mulai menampakkan diri lagi di kantor. Gue menghampirinya, tanpa mengatakan sepatah kata pun dan hanya menghela nafas panjang di hadapannya.
"Nggak usah ngeluh begitu, gue nggak datang buat ganggu lo kok" ucapnya pertama. Gaya bicaranya terdengar agak berbeda, tapi kalau kedatangannya nggak bermaksud menganggu gue, ngapain dia berdiri di depan pintu ruangan gue pagi-pagi begini.
"Gue ke sini mau ketemu Kak Shafira." Gue mengernyitkan kening, sependek pengetahuan gue mereka memang pernah bertemu satu kali waktu gue lagi ada kerjaan di Bali. Gue juga tahu kalau saat pertemuan pertama mereka, Shafira mengajak Sheina untuk makan bersama karena Sheina datang tepat di jam makan siang.
"Ngapain?" Gue bahkan nggak tahu Sheina sudah cukup dekat untuk memanggil Shafira dengan panggilan kakak.
"Mau bilang makasih, sama mau ngasih ini." Dia menunjukkan kotak makan yang lumayan besar. Saat benda itu dia tunjukan, wangi daging atau udang yang dikukus serta bau cabai memenuhi hidung gue.
"Makasih? Buat?"
"Karena udah nganterin gue pulang kemarin malam. Gue nggak tahu dimsum buatan Mbak Astri bakalan seenak dimsum rumahan buatan Kak Shafira atau enggak tapi semoga aja dia suka." Gue nggak memikirkan soal dimsum yang dia bawa, fokus gue langsung ke pernyataan dia yang pertama. Shafira yang mengantar Sheina pulang malam.
"Memangnya kamu habis dari mana kemarin malam? Ketemu Kak Shafira di mana?"
"Harus banget dijawab? Sejak kapan hal kayak gitu jadi penting?"
Iya juga, gue nggak pernah mau tahu urusan Sheina selama ini. Tiba-tiba banyak nanya hal-hal yang dia lakukan. Kesannya jadi kayak gue menaruh kepedulian lebih dengan menanyakan alasan Sheina pulang malam, tau mungkin gue tertarik karena melibatkan Shfira di dalamnya.
"Ya udah, terserah kamu lah." Gue mengatakan itu sambil membuka pintu ruangan dengan menempelkan access card pada tempatnya. Menghentikan rasa penasaran gue tentang apa yang terjadi kemarin malam. Namun mungkin Sheina lebih ingin mengatakannya tanpa gue minta.
"Kemarin habis pulang main, kemalaman, ketemu Kak Shafira di Cilandak." Gue kontan menoleh sambil mengernyitkan kening. Cilandak kawasan yang lumayan deket ke apartemen gue.
"Dari Cilandak ke Menteng kamu diboceng Kak Shafira?"
"Iya," mendengar itu, gue jadi memikirkan sepulang kerja kemarin Shafira nggak langsung pulang ke rumah, dia pergi ke mana sampai bertemu dengan Sheina di Cilandak? Lagian Sheina ngapain sih malam-malam masih keluyuran.
Dia malah melihat jam tangannya, "Kayaknya gue nggak bisa nunggu Kak Shafira datang, setengah jam lagi udah masuk jam pelajaran pertama. Gue titip ini aja ya, sama bilangin makasih."
Gue termenung sambil memegang tas yang isinya kotak makan itu, terpukau dengan tingkah Sheina yang benar-benar terasa asing. Dia benar-benar tidak datang untuk menganggu gue. Seperti berhadapan dengan Sheina yang sangat berbeda 360 derajat dengan Sheina yang biasanya gue temui. Dia bahkan mulai mempedulikan sekolahnya lagi sekarang. Padahal dia paling sering bolos sekolah hanya untuk menganggu gue di kantor.
"Oh, iya..." perkataanya tergantung, seperti agak ragu untuk meneruskannya. "Gue mau minta maaf kalau selama ini gue benar-benar menganggu hidup lo. Gue janji, nggak akan mengirim pesan spam, menghubungi lo belasan kali, atau datang ke kantor tanpa izin lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...