Bagian 8

15.4K 2.7K 451
                                    

INGIN sekali gue mengumpat Mbak Indah yang saat itu gue kira sudah menjelaskan alasan kenapa Shafira diminta menemui gue siang ini. Namun, dari mimik bingungnya Shafira, gue menyadari kalau dia belum tahu apa pun soal pemanggilannya ke tempat ini. Shit! Gue jadi kayak orang bodoh yang tiba-tiba mengatakan bahwa dia diterima, padahal dia sudah lama bekerja di tempat ini.

"Diterima?" tanyanya seolah meminta lanjutan penjelasan.

"Bu Indah belum menjelaskannya? Mulai hari Senin kamu bekerja di sini sebagai sekretaris saya, menggantikan posisinya Bu Indah sementara selama cuti melahirkan. Saya akan minta bagian HRD mengurus perpindahan kamu secepatnya." Dia malah terlihat semakin bingung ketika gue menjelaskan lebih rinci.

"Saya?" tanyanya agak kaget, sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Is there anyone else here besides you, Shafira?" tanya gue agak mengintimidasi. Ah, sekarang gue paham, paraf SF itu singkatan dari Shafira Fakhira. Tak heran, meski sudah setahun bekerja di sini, meski secara struktural dia bekerja di bawah kepemimpinan gue, gue belum pernah melihatnya sekalipun. Nata Adyatama terlalu luas dan terlalu banyak memiliki karyawan untuk gue ingat satu per satu.

"Ke-kenapa saya, Pak?" Gue nggak banyak mempertimbangkan hal lain setelah melihat dia bisa diam selama itu tanpa menanyakan apa pun di awal.

Mbak Indah benar, hal paling penting yang harus dimiliki orang yang akan menggantikan posisinya sebagai sekretaris gue adalah sikap pendiam dan tidak banyak bicara. Sekretaris itu harus pandai menyimpan rahasia, dan gue rasa orang yang banyak omong, apalagi ngomongin orang lain, adalah orang yang nggak mungkin bisa menyimpan rahasia.

"Mana saya tahu. Kamu bisa tanya sama Bu Indah, dia yang merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisinya menjadi sekretaris saya."

"Saya juga sudah meninjau kontrak kerja kamu. Kontrak kerja kamu berakhir dalam dua bulan lagi sebagai staf plan manager. Saya nggak yakin kontrak kamu akan diperpanjang kalau tidak mempertimbangkan kesempatan ini. Saya tunggu keputusannya hari Senin. Untuk hari ini, kamu bisa kembali ke ruangan." Semua kontrak kerja staf yang bekerja di bawah kepemimpinan gue tentu saja perlu keputusan gue untuk memperpanjang kontraknya atau tidak.

Setelah mendengar itu, Shafira hanya berpamitan meninggalkan ruangan gue. Saat itu gue masih duduk dan membuka kembali berkasnya sebentar. Ada salinan kartu keluarga yang dilampirkan di sana. Dalam kartu keluarga itu hanya ada tiga nama: ayahnya, kakaknya, dan namanya. Sepertinya dia sudah tidak memiliki ibu.

Gue menaruh kembali berkas itu ke tempatnya untuk dikembalikan ke personalia nanti, dan beranjak pergi untuk bertemu dengan klien. Ternyata Shafira tidak langsung kembali ke ruangannya. Karena saat gue berdiri di depan lift, gue melihat dia sedang bertelepon dengan seseorang di lobi lantai dua puluh.

Seperti yang pernah gue katakan, betapa pedulinya bokap terhadap fasilitas di kantor ini. Setiap lantai di Nata Adyatama juga memiliki spot untuk tamu menunggu. Semacam ruang tunggu dengan desain interiornya mungkin menghabiskan ratusan juta untuk membuatnya. Shafira berdiri membelakangi gue saat itu, karena jarak antar ruangan di lantai dua puluh memang agak renggang. Lorong di lantai tersebut sering sepi, hingga suara sekecil apa pun mudah terdengar.

"Kayaknya agak susah untuk profesi sekretaris buat nggak berduaan, Yah. Nggak mungkin juga sekretaris nggak akan ada perjalanan dinas, kan? Intinya, kalau aku mau tetap kerja di sini, mau nggak mau aku harus menerima tawaran ini. Kalau nggak, ya sudah dua bulan lagi kontrakku habis dan nggak diperpanjang." Gue hanya bisa mendengar apa yang dia bicarakan, gue nggak bisa mendengar orang di seberang telepon.

".........."

"Masih ada waktu sih buat apply lamaran ke perusahaan lain."

".........."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang