BARU Sabtu kemarin gue membahas soal workholism sama Papa pas lagi makan nasi uduk. Momen maaf memaafkan yang sebenarnya agak konyol. Seminggu setelahnya tepat hari senin, gue sudah disambut dengan berbagai macam meeting sampai pukul lima sore. Jam istirahat aja gue pakai meeting meskipun nggak formal-formal banget karena sambil makan siang, tapi tetep aja itu masih masuk di kerjaan gue. Setidaknya gue akan mengurangi overtime kerja sampai malam, untuk tidak mati muda dengan alasan yang tidak elegan seperti yang Papa bilang.
Syukurlah sore itu meeting selesai tepat waktu. Gue bisa meninggalkan restoran ini untuk segera pulang. Sekarang tiap weekend gue ada di Menteng, kadang kalau sudah terlalu malam untuk pulang ke apartemen, gue juga pulang ke Menteng. Nggak lagi menginap di hotel.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga... Ini meeting kita yang terakhir, kan? Kalau ada meeting lagi hari ini, saya mau mengibarkan bendera putih," ucap gue sembari merenggangkan tubuh dan melonggarkan dasi. Benda itu hampir mencekik gue seharian. Dengan sisa-sisa energi, gue mulai membereskan barang-barang gue.
"Iya, ini meeting yang terakhir."
"Kamu nggak akan pulang?" tanya gue ketika Shafira tidak terlihat membereskan barang-barangnya padahal meeting-nya sudah selesai.
Restoran makanan Jepang itu berada di salah satu mall dekat perusahaan yang akan menjadi klien Nata Adyatama dalam membangun superblok di daerah Kalimantan. Selain tempat meeting-nya ditentukan oleh klien, hanya restoran itu yang memiliki ruang private untuk meeting. Jaraknya hampir satu jam dari rumah Shafira, biasanya dia akan langsung cepat-cepat pulang agar tidak kemalaman.
"Saya masih mau di sini..." Dia terlihat sibuk dengan laptopnya, padahal gue nggak minta MoM-nya harus selesai hari ini.
"Kamu yakin masih mau di sini?"
"I-iya, saya yakin. Anda bisa pulang duluan aja," jawabnya ragu. Sesekali dia meringis seperti sedang menahan sakit. Sejak awal meeting tadi gue menangkap ekspresi itu. Sepertinya asumsi gue benar. Gue bergegas membereskan tas dan barang-barang gue yang lain lebih dulu.
"Tunggu di sini sebentar..." suruh gue.
"Ya?"
"Tunggu saya di sini sebentar," pinta gue lebih jelas. Beberapa menit kemudian, gue keluar dari restoran itu. Gue mencari di internet apakah ada supermarket di dalam mall tersebut. Biasanya selalu ada perusahaan ritel di dalam mall. Supermarket besar yang sengaja dihadirkan untuk melengkapi kebutuhan orang-orang yang datang ke tempat itu karena jelas peluangnya lebih besar.
Sayangnya supermarket di mall tersebut terletak di beda gedung. Gue perlu keluar dari mall itu dulu, menyebrang, baru bisa menemukan supermarket di lantai dua. Baru kali ini gue merutuki supermarket yang luas dan lengkap, sebab perlu lima belas menit untuk gue mencari barang yang dibutuhkan.
Setelah menemukannya, gue malah bingung harus membeli yang mana. Belum lagi ada ukuan-ukurannya. Untungnya ada ibu-ibu di tempat itu yang juga sedang berbelanja. Tadinya gue mau menanyakannya pada Sheina, tapi dia nggak kunjung mengangkat telepon. Akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya pada ibu-ibu itu setelah menyiapkan mental cukup lama.
"Permisi, Ibu... saya mau tanya, saya harus membeli... ini... tapi saya bingung-" belum selesai gue bicara ibu itu sudah langsung bisa menangkap pertanyaan gue dengan lengkap.
"Oh, baru pertama kali beli pembalut buat istrinya ya, De?"
"Ya? Ah, iya Bu. Saya baru pertama kali beli ini buat istri. Saya nggak tahu harus beli yang mana, istri saya ditelepon malah nggak di angkat," lancar banget gue menjawab itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...