BUKAN lagi sebuah rahasia kalau sebenarnya gue merupakan anak sulung Andreas Yudistira Adyatama. Cuma mungkin sebelum-sebelumnya yang tahu di kantor baru sedikit, karena gue jarang mengatakan soal itu meskipun sudah berdamai dengan Papa. Waktu orang-orang mulai banyak yang tahu tentang itu, segala hal yang gue inginkan aksesnya mendadak cepat dan mudah.
Begitupun dengan respon Pak Hendra setelah gue telepon dari Thailand waktu itu. Mereka dengan cepat menemukan orang-orang yang cocok untuk mengisi posisi yang akan gue kosongkan dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Padahal biasanya sebulan lebih.
Gue mulai mempersiapkan kepergian gue dari Nata Adyatama. Karena terlalu banyak orang-orang yang gue kenal di kantor, sementara gue nggak punya waktu untuk membelikan mereka hadiah satu persatu—sebab kondisinya gue masih bekerja juga saat itu—akhirnya gue mengambil jalan pintas dengan membayar semua makanan di food court dan membebaskan setiap karyawan makan siang gratis di sana.
Hampir seminggu gue melakukan itu, sampai-sampai Daffin yang kerja beda gedung sama gue, dengan isengnya menggiring semua anak-anak divisinya untuk makan di food court building A saat tahu hal tersebut. Emang agak kurang ajar sepupu satu itu. Sudah mengambil tunangan gue, sekarang berencana menguras rekening gue.
Hari Senin depannya gue benar-benar berpamitan, mendapat banyak kado perpisahan, dan say good by pada semua jobdesc Direktur Perencanaan. Gue nggak tahu apakah semua kado yang gue dapat adalah bentuk ketulusan, atau karena mereka tahu gue anaknya Papa. Ah, itulah yang gue nggak suka. Gue jadi nggak bisa menilai seseorang secara objektif.
Tentu saja gue akan meninggalkan kantor setelah segala tanggung jawab gue terselesaikan dengan baik dan yang terakhir gue lakukan adalah minta tanda tangan Dirut untuk ACC perencanaan proyek Nirwana Group.
"Jangan bilang kamu resign sebagai direktur perencanaan, tahu-tahu buat gantiin pekerjaan Papa kamu lagi, naik jabatan secara kekeluargaan."
"Saya nggak minat bekerja seperti Pak Andreas, Pak." Gue mencoba terlihat profesional dengan nggak memanggil menggunakan panggilan Papa di depan Pak Dirut. Ya, gue memang belum punya pikiran untuk menggantikan pekerjaannya Papa sampai sekarang.
"Padahal kita baru bekerja sama beberapa bulan ini, saya malah banyak dengar kinerja kamu dari Pak Jo dulu, sebelum bisa melihatnya secara langsung." Pak Dirut menandatangani dokumen terakhir berkenaan dengan pekerjaan gue.
"Semua pekerjaan yang harus saya selesaikan sudah saya serahkan, Pak. Dan ini yang terakhir. Saya senang juga bisa mendapat kesempatan bekerja dengan Bapak langsung walau singkat. Semoga di lain waktu, kita dapat bekerja sama lagi." Pak Dirut tertawa, lepas sekali. Namun otak gue belum bisa memahami bagian mana yang dia tertawakan.
"Selera humor kamu sama Papa kamu beda ternyata. Jelas, kita pasti akan bertemu lagi. Namun bedanya, mungkin pertemuan selanjutnya, kamu yang memberikan intruksi pimpinan ke saya." Mungkin dia masih mengira gue resign benar-benar untuk menggantikan pekerjaanya Papa. Gue tersenyum kaku dan mengulurkan tangan. Setelah bersalaman, gue berpamitan untuk meninggalkan ruangannya lebih dulu.
Sore itu, langit terasa lebih oren dari hari-hari biasanya. Gue di antar Pak Iman pulang ke Menteng karena udah lama banget nggak pulang ke sana. Gue ingin tidur nyenyak setelah hanya bisa tidur tiga jam beberapa bulan ini. Berat badan gue turun drastis gara-gara kurang tidur.
"Surprise!" Gue mendengar teriakan itu tatkala membuka pintu. Tidak ada lagu ulang tahun setelahnya, juga tidak ada lilin yang menyala karena gue memang lagi nggak ulang tahun. Namun ruangannya sudah dihias dengan beberapa balon huruf dan lampu Tumblr.
Sheina dan Papa menghampiri gue dengan sekotak pizza dan cheese cake ditangannya.
"Selamat resign, Kak Atha. Selamat menjadi pengangguran berkelas," katanya. Gue mengernyitkan kening sebentar, sebelum akhirnya tertawa kecil mendapat kejutan dari mereka. Merasa senang karena ini pertama kalinya kami merayakan sesuatu. Sepertinya hanya gue yang resign-nya dirayakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...