Bagian 89

11.8K 2.8K 1.4K
                                    

AKAN ada fase lo menyukai seseorang dengan tingkatan yang berbeda. Tingkatan sayang yang benar-benar hanya menginginkan melihat dia bahagia, sehat, dan baik-baik saja. Stok doa sepertiga malam itu, habis gue gunakan untuk mendoakan Shafira. Gue nggak mendoakan hubungannya kandas, gue juga nggak mendoakan hubungan mereka baik-baik aja. Gue berdoa semoga apapun yang terjadi kedepannya, hal tersebut nggak membuat Shafira lebih sedih dan terluka.

Pulang dari berjamaah subuh, gue langsung bersiap-siap lebih awal karena berangkat dari apartemen yang di Kuningan City. Pagi itu ada meeting penting yang dilakukan di perusahaan klien, Nirwana Group.

Gue tahu Shafira sangat butuh waktu. Gue bisa saja meminta dia untuk nggak masuk dulu, tapi gue belum punya sekretaris cadangan yang bisa meng-cover seluruh pekerjaannya. Hasil rekrutmen kemarin belum ada yang memenuhi ekspektasi. Plus, setelah mempertimbangkan pekerjaan gue yang banyak keluar kota, kali ini gue ingin mencari sekretaris yang laki-laki.

Gue lebih berharap Shafira sendiri yang memutuskan untuk mengambil cuti kalau memang masalahnya membuat dia nggak bisa fokus untuk bekerja. Daripada memaksakan diri untuk tetap masuk, tapi pekerjaanya nggak maksimal.

Diluar dugaan, ternyata Shafira tetap datang meski dengan kondisi yang nggak kayak biasanya. Ketika gue menginjakan kaki di lobi kebanggaan Nirwana Group,  gue menemukan Shafira sudah lebih dulu duduk di kursi tunggu, menunggu gue dengan masker putihnya.

Gue kontan berjalan menghampiri Shafira yang saat itu belum menyadari kehadiran gue. Gue juga mengucapkan salam pertama, tapi karena mungkin dia lagi melamun, suara gue nggak kedengaran hingga dia nggak menjawab salamnya.

"Udah sarapan? Kayaknya meeting hari ini bakal lama banget." 

"Udah," jawabnya singkat, terlihat agak kaget dengan kehadiran gue yang tiba-tiba.

"Kamu ngapain pakai masker? Nggak sekalian pakai kacamata hitam?" tanya gue mengajaknya bercanda. Matanya masih terlihat sedikit sebab dan dia seperti kurang tidur semalaman. Sepertinya pertemuan dengan Rafif di resto yang Daffin bilang itu benar-benar terjadi.

"Saya nggak punya kacamata hitam, punyanya kacamata renang." Gue tersenyum kecil mendengar jawaban Shafira yang selalu terdengar jutek dan sarkas.

"Di lantai dua gedung ini ada food court yang menyiapkan sarapan dan menunya enak-enak. Kita nunggu di sana aja sekalian makan dulu..."

"Saya udah sarapan."

"Saya yang belum sarapan." Gue menggunakan motor untuk datang ke tempat ini, karena nggak mau terlambat gue skip sarapan sebelum berangkat tadi.

Sampai di food court dan memilih tempat yang cukup ramai, karena Shafira nggak mungkin nyari tempat yang gak ramai apalagi kalau harus duduk bareng gue. Gue memesan berapa makanan di salah satu resto yang sudah buka pagi itu. Ketika makanan gue sedang disiapkan, tiba-tiba saja ada seorang pria yang menghampiri meja kami. Pria yang baru saja gue temui hari Sabtu lalu di gor.

"Assalamualaikum." Gue menjawab salamnya lengkap. Sebelumnya gue nggak tahu kalau ternyata Abyan juga ada kepentingan di kantor ini.

"Mimpi apa nih pagi-pagi ketemu orang pentingnya Nata Adyatama di sini..." katanya hiperbola.

"Kok lo bisa di sini juga, Yan?"

"Ada meeting gue," jawabnya. Gue curiga jangan-jangan kami datang ke tempat ini untuk menghadiri meeting yang sama, karena ini proyek besar yang melibatkan lima perusahaan properti, kemungkinan besar Abyan juga datang untuk proyek yang sama.

"Yes, I'm sure we came to this place with the same purpose. Gue udah nebak sih perwakilan Nata Adyatama yang datang pasti lo, nggak akan jauh." Waktu lagi asik-asiknya ngobrol dengan Abyan, pesanan gue datang. Sepuluh menit dari itu, gue disapa lagi oleh pria usia senja yang sepertinya lebih tua dari bokap gue.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang