SESUAI dengan janji, weekend itu tadinya gue mau join futsal bareng Abyan,Vian, dan teman-temannya di salah satu lapangan indoor yang masih berada di kawasan Jakarta Selatan, tapi tiba-tiba saja rencana itu dibatalkan dan lokasi janjiannya diubah menjadi gor Graha Kencana, tempat untuk bermain bulutangkis. Katanya mereka kurang orang untuk futsal, jadi olahraganya diganti menjadi bulutangkis.
Meninjau dari lokasi di g-maps, gue nggak membawa mobil hari itu. Gue memutuskan untuk naik motor dengan membawa sebuah ransel khusus alat-alat bulutangkis. Sampai di tempat, gue menyapa beberapa orang yang tengah bersama Abyan dan Vian, meski gue nggak mengenali mereka. Gue juga berkenalan dengan beberapa orang yang kebanyakan lebih muda dari gue.
"Wah... wah..., kita ini masih pada pemula, jangan langsung bawa alat bulutangkis pro dong, Tha," komentar Abyan ketika melihat perlengkapan yang gue bawa.
"Ini alat-alat bulutangkis punya bokap gue, bukan punya gue. Gue nggak punya alat bulutangkis, gue cuma minjem."
"Suka merendah begitu. Dulu juga main golf, main biliar, bilangnya nggak bisa, sekali main malah paling jago." Vian ikut-ikutan berkomentar tentang gue.
"Sorry to say, gue cuma bilang minjem alat-alat punya bokap. Gue nggak bilang kalau gue nggak jago, kan? Soal golf sama biliar, itu lebih ke bakat bawaan lahir sih. Masyaallah." Abyan dan Vian tertawa mendengar gaya bicara gue yang terasa berubah karena pertama kali masuk circle pertemanan mereka.
Vian melemparkan sesuatu ke muka gue, kain hitam yang gue kira lap keringat. Namun , ternyata kain itu adalah legging sport dengan panjang setengah betis. "Kaki lo seksi juga, Tha. Mulus begitu kayak cewek."
"Astagfirullah! Lo jangan coba-coba join circle-nya kaum Nabi Luth. Ian! Baru juga log in beberapa bulan." Kaki gue memang kayak cewek, tapi tidak dengan otot-ototnya. Gue sering cycling sama pergi ke gym untuk mempertahankan masa otot.
"Itu dia niat meminjemin legging-nya, Tha. Supaya lo pake. Meskipun ini gor cuma disewa sama kita, dan semuanya cowok-cowok semua. Tetap pake, buat jaga-jaga aja. Khawatir ada cewek yang lihat aurat lo, terus terpesona." Ya, gue tahu aurat cowok memang dari pusar sampai lutut.
"Tapi, masa iya pake legging yang ketat begini?"
"Namanya juga legging sport. Lo pake legging-nya dulu, habis itu tetep pake celana, di double. Kalau enggak, ya... aset lo entar kelihatan kemana-mana." Gue ber-oh ria mendengar itu, gue kira pake legging-nya doang.
Mereka keren juga, kepikiran sampai sejauh itu soal aurat meskipun mereka cowok. Mana gue naik motor lagi ke sini. Sepanjang jalan tadi, setengah paha gue kemana-mana. Gue manaruh tas gue terlebih dahulu, sebelum berniat mencari toilet untuk ganti.
"Ngomong-ngomong, kenapa nggak jadi futsal? Gue udah lama nggak futsal padahal," tanya gue.
"Kurang orang. Bang Afif mendadak bilang nggak bisa datang. Gue udah nyoba ajak yang lain, tapi pada nggak bisa." Wajar aja, gue yang manager doang sibuknya macam kerja romusha yang kadang nggak punya waktu istirahat. Apalagi Rafif yang sekarang mengisi posisi direktur utama.
"Rafif kemana memang? Ada kerjaan?" Vian yang malah penasaran tentang itu.
"Lagi banyak masalah mungkin, masalah yang dibuat sendiri." Awalnya gue nggak berniat memperpanjang obrolan itu, tapi melihat mimik wajah Abyan yang nggak kayak biasanya saat membicarakan Rafif, membuat gue melanjutkan rasa penasaran itu.
"Kenapa lo? Bukannya Rafif orang yang sangat-sangat lo kagumi?" Gue ingat banget bagaimana Abyan membicarakan soal Rafif saat makan siang bareng Shafira dulu. Hari saat pertama kali juga, gue tahu perasaan Shafira untuk pria itu.
"Sebenarnya gue nggak habis pikir aja sama Bang Afif. Bisa-bisanya dia melamar dua perempuan dalam waktu yang bersamaan." Ternyata Abyan sudah tahu soal itu. Gue penasaran darimana dia tahu informasi tersebut, tapi pertanyaan itu perlu gue tahan agar nggak menimbulkan kecurigaan.
"Hah, maksudnya?" Vian malah lebih penasaran. Abyan melirik ke arah gue, karena gue nggak kunjung bergeming lagi.
"Lo tahu Shafira lagi punya masalah, Tha?" tanyanya.
"Soal kabar pernikahannya? Satu Nata Adyatama juga tahu tentang itu."
"Heh! Jelasin dulu maksud melamar dua perempuan sekaligus itu gimana? Dia niat poligami langsung? Ini Shafira sekretarisnya Athaya, kan? Dia salah satu calonnya gitu?" Vian yang nggak tahu akar masalahnya ngotot minta penjelasan.
"Ya, Shafira sama Bang Afif itu udah lamaran, tanpa tahu kalau Bang Afif juga udah melamar perempuan lain sebelumnya. Gue tahu itu karena nggak sengaja ketemu dia di tempat sewa baju gitu, gue lagi ngantar sepupu buat cari outfit wisuda. Gue ketemu Bang Afif yang gue kira lagi fitting baju pernikahan bareng Shafira... namun perempuan yang pake gaunnya bukan Shafira, tapi tunangannya yang pertama."
"Jadi Rafif bertunangan dengan Shafira, juga bertunangan dengan perempuan lain? Kok bisa gitu, pasti orang tuanya melarang Rafif?" Tanpa menanyakan apapun, Vian sudah mewakilkan segala pertanyaan yang ingin gue ajukan.
"Sebenarnya Bang Afif itu udah bilang sama kedua orang tuanya bahwa dia mau melamar Shafira. Pada awalnya, orang tuanya Bang Afif mengizinkan, dengan syarat lamaran itu harus berlangsung kurang dari sebulan, tapi ternyata Shafira nggak langsung menerima lamaran itu. Dia nggak ada kabar lebih dari sebulan. Maka mau nggak mau Bang Afif setuju untuk menjalani taaruf dan bertunangan dengan perempuan pilihan orang tuanya."
"Setelah satu bulan itu, Shafira akhirnya memberikan jawaban. Padahal kondisinya Bang Afif sudah memiliki tunangan. Gue udah bilang ke dia, harusnya waktu Shafira ngasih jawaban, Bang Afif jangan langsung mengiyakan, tapi dia harus menjelaskan kondisinya pada Shafira lebih dulu, tentang segala hal termasuk orang tuanya."
"Mungkin karena pada dasarnya Bang Afif sudah sangat tertarik pada Shafira, dia mencoba meyakinkan orang tuanya, terutama ibunya dan melanjutkan ke jenjang lamaran, tanpa bisa mengakhiri hubungannya dengan tunangannya yang pertama terlebih dahulu."
"Kenapa dia nggak putus dulu sama yang pertama?" Vian lagi-lagi menyuarakan isi pikiran gue.
"Kayaknya buat Bang Afif nggak bisa sesederhana itu. Meskipun hanya orang tua angkat, Bang Afif merasa berhutang pada orang tuanya dan nggak bisa menolak atau membatalkan pertunangan yang sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya. Karena dia udah di urus dari kecil."
"Rafif anak angkat?" Gue dan Vian hampir menanyakan itu bersamaan. Abyan mengangguk mengiyakan. Pantas aja gue nggak menemukan kemiripan secara fisik antara Rafif dengan Pak Erwin.
Jelas masalah ini juga sulit buat Rafif, meneruskan pernikahan tanpa restu orang tua atau membatalkan pernikahan untuk taat sama orang tua. Dua hal yang kayaknya juga nggak bisa gue pilih.
___________
To be continued.
Mil, untuk besok aku nggak update dulu ya. Mohon maaf 🙏🏻
Sebagai gantinya, besok siang aku mau buka QnA tentang Atha bebas di Ig @amimomile.
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
רוחניTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...