Extra Chapter 1A

17.1K 3K 5.5K
                                    

SEBAGIAN besar tamu berpamitan pulang setelah salat Magrib, terutama tamu yang tinggal di luar kota. Apalagi teman-temannya Shafira yang perempuan, mereka bahkan sudah pulang sejak pukul lima, sebelum azan Magrib tadi. Keluarga gue semuanya juga berpamitan setelah Magrib. Papa masih pengen tinggal di Bandung seminggu lagi, jadi dia ikutan pulang. Sisanya yang pulang agak malam mungkin hanya teman-teman dekat gue Abyan, Vian, Dipta, Gema, dan satu orang yang entah harus gue anggap apa, Daffin.

Para bapak-bapak itu memanfaatkan pertemuan ini untuk membicarakan soal bisnis. Kapan lagi bisa bertemu lengkap begini ketika yang satu di Yogya, yang satu di Surabaya, yang satu di Bandung, dan beberapa di Jakarta. Kinan, istrinya Abyan, juga masih asik bercerita dengan Shafira di dalam. Mereka berpamitan pulang sekitar pukul delapan tiga puluh, setelah salat Isya dan setelah acara makan-makan ronde dua.

Setelah mengantar mereka ke depan, gue dan Shafira kembali masuk tanpa ada pembicaraan. Intimate wedding yang hanya dihadiri keluarga dan teman dekat saja rasanya sudah sangat melelahkan. Apalagi kalau resepsinya digelar seperti kebanyakan orang. Gue yakin kenalannya Papa yang bahkan nggak gue kenal aja, bakalan datang. Tamunya akan lebih dari tiga ribu orang, dan jam segini mungkin kami masih harus berdiri menyalami mereka dengan rahang yang terasa kaku karena kebanyakan senyum.

"Tha, mau langsung ke Jakarta hari ini, kan? Rencana berangkat jam berapa?" tanya Pak Adam ketika kami berdua masuk. Bicaranya menjadi lebih santai ke gue setelah akad tadi. Gue mengecek waktu terlebih dahulu melalui jam tangan yang sedang gue pake.

"Emm... Mungkin jam sembilan, Om. Sebelum berangkat, saya boleh numpang mandi dulu, nggak? Gerah banget nih, nggak enak keringatnya." Gue tersenyum kikuk menanyakan itu. Badan gue rasanya lengket banget. Bahkan gue berencana mandi dari sejak akan salat Isya tadi kalau tamunya udah pulang semua.

"Kamu ini... pake kata numpang segala. Sekarang rumah ini harus sudah dianggap sebagai rumah kamu juga, dan mulai sekarang kamu panggil saya pake panggilan lain. Pak, Yah, atau apapun itu. Jangan panggil Om lagi. Sana gih... mandi air hangatnya di kamar Shafira aja."

"Kok di kamar aku sih, Yah!" Entah mungkin Shafira lupa dengan status barunya atau bagaimana, dia sampai syok begitu ketika Ayahnya menyuruh gue untuk mandi di toilet yang ada di kamarnya.

"Ya terus mau mandi di kamar siapa? Athaya kan udah sah jadi suami kamu. Nggak mungkin di kamar Ayah atau di kamarnya Hazm, water heater di ruang tamu bawah juga lagi rusak."

"Y-ya, udah iya." Dengan ragu dia naik ke lantai atas dan menunjukkan kamarnya. Ini pertama kalinya gue masuk kamar perempuan selain kamarnya Sheina. Seperti biasa, kamar perempuan selalu wangi. Aroma vanila bercampur sugar biscuits langsung tercium ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam. Wangi yang manis dan bikin lapar sebenarnya.

"Kamar mandinya sebelah sana, dan handuk bersihnya ada di lemari di samping wastafel," katanya, masih terasa kaku. Mungkin ini juga menjadi kali pertama ada laki-laki asing yang masuk ke kamarnya, apalagi sampai numpang mandi.

"Oh, ya. Oke."

"Kalau gitu, aku tinggal ke bawah, ya? Mau bantu Kak Hasna itu... beres-beres ruang tengah." Jelas semua itu hanya alasan, dia pasti sangat canggung kalau harus menunggu satu ruangan di sini.

"Ya," gue mengangguk, dan dia langsung melarikan diri keluar ruangan.

Mandi pakai air hangat kadang nggak bikin badan kerasa segar, yang ada malah makin bikin gerah. Meski udah malam, gue memutuskan tetap mandi pakai air dingin biar segar. Awalnya gue mandi biasa aja, hingga gue teringat baju ganti gue masih di bagasi mobil. Harusnya sebelum mandi tadi, gue bawa dulu.

Setelah membilas semuanya. Gue meringis sambil melilitkan handuk ke pinggang. Gue keluar kamar mandi untuk mengambil ponsel yang tadi sempat ditaruh di atas nakas. Gue perlu bantuan seseorang untuk mengambilkan baju di mobil, tapi masa iya gue telepon Shafira. Akan lebih aneh kalau gue minta tolong Hazm saat gue dan Shafira sudah sah sebagai suami istri.

Akhirnya gue mencoba menghubungi Shafira, tapi panggilan itu nggak kunjung dia angkat. Kayaknya dia lagi nggak pegang handphone.

Gue berencana memanggilnya dari pintu, namun urung karena nggak mungkin gue teriak-teriak supaya suara gue terdengar sampai bawah. Disela-sela bingung mencari solusi, seseorang tiba-tiba masuk. Dia kontan berteriak melihat gue bertelanjang dada.

"Aaaa... Astagfirullahal'adzim."

"Maaf-maaf, saya nggak maksud." Gue langsung balik badan dan bergegas kembali ke dekat kamar mandi.

"Kenapa Anda belum ganti baju?! Kenapa juga ganti baju di kamar padahal ada ruang ganti." Dia langsung protes.

"Bukan begitu, saya lupa bawa baju, baju saya masih di bagasi mobil. Tadi saya telepon kamu mau minta tolong ambilkan, handphonenya saya taro di atas nakas di samping tempat tidur. Makanya saya keluar kamar mandi belum pake baju." Bukan hanya Shafira yang kaget, gue juga malu muncul di depannya dengan kondisi seperti itu.

Situasi tersebut membuat cara bicara kami langsung kembali ke setelan pabrik.

"Y-ya, udah... Tunggu sebentar, aku ambilkan bajunya. Kunci mobilnya di mana?"

"Tadi aku taro di meja TV ruang tengah." Dia hendak pergi, namun gue teringat hal lain yang mungkin membuatnya akan kaget lagi. Shafira nggak mungkin mengambilkan pakaian luar saja, tapi gue juga nggak mungkin memintanya membawakan satu koper sekaligus ke lantai dua.

"Ra... Sebentar," tahan gue. Dia berdiri di ujung pintu keluar, sementara gue berdiri di balik pintu toilet dan hanya menyembulkan kepala.

"Bisa tolong bawakan semuanya aja? Kalau kamu merasa kopernya berat, kamu bisa minta tolong Hazm. Ada barang penting juga yang harus aku ambil soalnya."

"Oke." Gue mendengar suara pintu ditutup, tanda Shafira sudah meninggalkan ruangan.

Sepuluh menit kemudian, gue mendengar pintu kamar diketuk. Kali ini dia nggak langsung masuk. Gue membukanya sedikit, tapi Shafira tidak menyerahkan sebuah koper. Dia menyerahkan pakaian yang gue butuhkan, beserta pakaian dalamnya. Setelah itu dia langsung menutup pintunya tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Rasanya gue malu setengah mati menerima pakaian itu. Pipi gue seketika terasa panas. Pasangan suami-istri yang sudah lama menikah mungkin menganggap itu hal yang sudah sangat biasa, tapi gue baru jadi suaminya Shafira beberapa jam yang lalu, dan bagi gue itu hal memalukan.

────୨ৎ────

────୨ৎ────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang