MANUSIA memang panjang angan. Membiarkan Shafira mondar-mandir di apartemen gue, menyiapkan minuman untuk mas-mas yang dipaksa duduk mematung di kursinya, men-charger ponsel gue, memesankan makanan dan juga melakukan konsultasi dengan dokter melalui aplikasi untuk mendapatkan obat yang lebih efektif, membuat gue membayangkan Shafira tengah simulasi jadi istri gue.
Sayangnya angan itu harus mati diserang realita. Gue didesak untuk sadar diri setiap kali gue melihat cincin yang tersemat di jarinya. Shafira mengompres gue dengan air hangat untuk meredakan sedikit demamnya. Tentu saja menaruh sapu tangan di kening gue sehati-hati mungkin, agar tidak bersentuhan. Dia juga memanaskan air untuk membuatkan mas-mas tadi kopi, supaya diamnnya bisa lebih nyaman.
"Permisi. Maaf, Pak, Bu. Saya harus balik lagi ke bawah. Ada mobil yang mau keluar, tapi security-nya lagi nggak ada di tempat. Jadi saya harus gantiin sebentar," katanya. Shafira terlihat memikirkan hal itu sejenak. Berdua satu ruangan dengan gue apalagi di apartemen pasti benar-benar membuatnya nggak nyaman.
"Ya udah, nggak apa-apa, Mas. Sebentar lagi saya juga selesai. Makasih banyak ya. Kopinya dibawa aja." Setelah mas-mas itu pergi, gue mengatakan sesuatu untuk membuatnya nggak merasa canggung.
"Kamu bisa buka pintunya. Di bagian atas pintunya itu, kamu bisa tarik supaya pintunya nggak tertutup otomatis. Tapi kalau nggak nyampe, tahan aja pintunya pake apa pun supaya tetap bisa buka." Kalau gue masih sanggup buat berdiri, mungkin gue udah langsung membukakan pintu itu untuknya.
"Dokumen yang kamu bawa tadi, harus saya tanda tangan hari ini?" tanya gue setelah Shafira selesai mengikuti saran yang gue katakan tadi. Baru melihat tumpukan map-nya saja, menambah pening di kepala gue.
"Diminta Pak Jo hari ini, tapi nanti saya bilang ke Pak Jo kalau Anda sakit." Dia terlihat membereskan beberapa barang-barangnya.
"Pesanannya di-cancel sama driver-nya, saya akan ambil obatnya langsung ke apotek sebelum kembali ke kantor. Kalau sekiranya ada hal lain yang perlu saya beli, atau kondisi Anda makin darurat. Hubungi saya," katanya. Gue hanya mengangguk sambil memejamkan mata. Mengucapkan terima kasih sebelum dia meninggalkan apartemen.
Belum sempat gue dengar pintu apartemen terkunci, Shafira terdengar berbicara dengan seseorang. "Bu Nalea? Kenapa berdiri di sini? Masuk, Bu."
"Pak Atha lagi demam tinggi. Maaf, tadi harusnya saya langsung mengabari Ibu juga waktu tahu kalau Pak Atha sakit. Saya benar-benar lupa soal itu." Shafira memberikan klarifikasi lebih dulu sebelum Nalea berpikiran yang tidak-tidak. Dia tidak ingin siapa pun salah paham tentang kedatangannya.
"Nggak masalah, mengabari saya soal Athaya bukan bagian dari tanggung jawab kamu," jawab Nalea terdengar tidak ramah di telinga gue.
Semenjak menemukan gue ada affair sama perempuan lain waktu kita pertama kali pacaran. Sikap Nalea jadi sangat sensitif pada seluruh perempuan yang ada disekeliling gue, dia sering jadi overthinking dan overprotektif. Baru akhir-akhir ini sikapnya menjadi lebih dingin dan acuh tak acuh ke gue.
Gue mencoba untuk duduk, berharap Nalea tak akan mengatakan hal-hal lain yang mungkin akan melukai Shafira. Sekarang gue seperti sedang simulasi sebagai seorang suami yang ketahuan selingkuh dan membawa perempuan lain ke apartemennya. Sungguh drama kehidupan yang tidak patut dicoba, apalagi pas lagi sakit kepala begini.
"Wah... What a surprise! What dream did I see. Seorang Nalea Silenia Pradana yang super sibuk akhirnya bisa ada di sini. Dua hari istirahatnya udah cukup kan? Udah nggak jet lag lagi?" ucap gue, berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.
"I've been resting for years not to think of you for a while and what happens now? Kamu selalu aja sakit gara-gara terlalu fokus sama pekerjaan." Jawab Nalea sambil tersenyum hangat. Dia menghampiri gue lalu duduk tepat di samping kanan gue. Tangannya secara otomatis memegang kening gue untuk mengecek suhu tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...