Bagian 107

10.6K 2.6K 1K
                                    

Bismillah, Miles. Tiga bab aku update berkala ya. Nanti satu jam 20.00, satu lagi jam 21.00

Jangan lupa untuk meramaikan kolom komentar tiap babnya. Silaturahmi sesama Miles satu Indonesia. 🤣

Happy reading  ✨

__________

GUE mengusap wajah untuk bisa menenangkan diri dari pernyataan yang baru saja diungkapkan Sheina. Pertama, dia tidak mendiskusikan ini terlebih dahulu, baik ke gue atau ke Papa, dia baru mengatakannya saat sudah lolos seleksi. Kedua, kuliah di luar negeri itu nggak sesederhana yang dibayangkan. Pantas saja dia sangat antusias dengan TOEFL dan IELTS, mungkin itu menjadi salah satu syarat penerimaannya.

Terlalu banyak hal yang perlu gue khawatirkan apabila gue membiarkan Sheina mengambil kesempatan tersebut.

"Makan dulu, ngemil dulu, minum dulu. Udah hampir setengah jam loh Kak Atha cuma ngelihatin selembar kertas screenshoot hasil pengumuman itu..." Kami tidak berduaan di ruangan itu, mengingat ada Papa yang terhalang gorden dan sudah lebih dulu memilih istirahat.

"Sebelum kamu apply buat student exchange ke PNU ini, dan memutuskan untuk ikut seleksi, apa kamu udah memikirkan segala hal sebelum mengikuti seleksinya, Na?" tanya gue.

Dia anak yang penuh pertimbangan, bukan yang secara impulsif mengambil keputusan kayak gue. Termasuk memilih kampus saat lulus SMA dulu. Tentu mengikuti program pertukaran pelajar ini, bukan sesuatu yang iseng-iseng dia ikuti. Pasti ada pertimbangan matang yang dia pikirkan sebelum memutuskan untuk berpartisipasi.

"Princesss Nourah University itu, per tahun 2022 udah nggak mewajibkan mahasiswa untuk didampingi mahram selama kuliah di sana. Student exchange juga nggak lama, Kak. Paling cuma satu atau dua semester. Paling lama satu tahun aku di sana, terus pulang lagi." Gue membenarkan posisi duduk untuk berbicara lebih serius.

"Kakak sangat ingin kamu menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan sebagus mungkin, tapi jujur... Kakak banyak khawatir. Satu tahun itu bukan waktu yang sebentar, Na. Kamu menjadi pendatang di sana, sendirian, nggak ada yang dikenal, nggak ada saudara di sana, kalau sebatas teman kan beda perhatiannya."

"Tapi kalau di pikir lagi, segala kekhawatiran itu percuma juga Kakak pikirkan. Kakak nggak punya otoritas apapun untuk mengizinkan, mendampingi, atau menolak kamu pergi. Di tambah Papa kondisinya lagi kayak gini sekarang. Kakak nggak tahu harus gimana..."

"Aku yakin Papa juga nggak akan kasih izin kalau tinggal sendirian di sana," jawabnya. "Tapi aku udah punya rencana untuk meyakinkan Papa. Rencana yang Insyaallah pasti Papa setujui."

"Rencana apa?"

"Aku punya Tante Adiba, adiknya Mama. Mungkin Kak Atha nggak tahu tentang ini. Dia sudah menikah dengan suaminya dan menetap di Riyadh dari lama. Tempat tinggalnya masih satu kawasan sama kampus PNU. Aku udah mengabari Tante Adiba tentang ini, dia menyambut hangat dan bersedia menjadi wali aku selama di sana." Seenggaknya rencana tersebut juga membuat gue ikut tenang.

"Kalau begitu, cari waktu yang tepat buat bicara sama Papa. Ingat, bicara baik-baik. Kalau ternyata hasilnya Papa tetap menolak.  Kakak harap kamu bisa dengan lapang dada menerima keputusan tersebut..."

"Telinga aku belum terbiasa dengar Kak Atha bilang kalimat-kalimat bijak begitu, tapi oke lah... Nanti aku cari momen yang tepat buat bilang ke Papa. Berangkatnya masih lama kok, masih bulan depan. Aku harus mengurus visanya dulu."

Malam itu gue sudah menawarkan diri untuk mengantar Sheina pulang ke apartemen pakai taxi, tapi dia bersikukuh untuk menginap di rumah sakit menemani Papa. Padahal yang sakit adem ayem aja tidur, nggak ada keluhan apapun. Gula darahnya juga udah mulai terkontrol. 

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang