Bagian 7

15.6K 2.6K 362
                                    

MBAK Indah memang sudah sibuk dari jauh-jauh hari sebelum cuti, dia seperti ingin meninggalkan gue dalam keadaan damai. Nggak mau cutinya gue ganggu via telepon hanya untuk menanyakan hal yang masih terkait kerjaan. Itulah kenapa dia berusaha menyelesaikan dan menyiapkan segalanya bahkan di hari-hari terakhir dia masuk kerja.

"Bumil itu butuh banyak jalan, tapi butuh istirahat juga. Gue udah bilang, kan? Urusan yang berat-berat nggak perlu dikerjain, Mbak." Gue mengambil alih setumpuk bisnis file yang lagi di bawa Mbak Indah. Gue nggak sengaja papasan di lorong lantai dua puluh saat gue mau keluar buat makan siang.

"Schedule lo satu minggu ke depan udah gue susun. Biar yang gantiin gue kerja nanti nggak keteteran. Sekarang gue lagi menyiapkan dokumen yang bakalan lo butuhkan dalam waktu dekat, tapi aduh, Tha! Dokumen dari lantai bawah aja bisa nyampe dua hari ke lantai kita," keluh Mbak Indah. Bahkan selama ini dia belum menyadari Nata Adyatama seluas itu. Gue mengantarkan tumpukan dokumen itu ke mejanya.

"Ya... Intinya jangan sampe kecapean aja. Entar ada apa-apa sama lo, gue yang disalahin," jawab gue. Mbak Indah hanya bilang kalo gue nggak perlu khawatir berlebihan. Padahal jauh di dalam pikiran gue, gue lebih mengkhawatirkan diri sendiri. Karena kalau terjadi sesuatu sama Mbak Indah dan anaknya, sudah pasti gue yang ditanya duluan.

"Janjian makan siang sama siapa sih? Masih jam segini udah mau cabut aja." Mbak Indah menanyakan itu sembari melihat jam tangannya.

"Someone from the office next door. Shanna namanya," jawab gue dengan santainya. Perempuan yang sedang hamil besar itu menggeleng-geleng sambil berdecak ketika mendengar jawaban yang gue lontarkan. Lagi-lagi gue menyebutkan nama perempuan.

"Yang sekarang kenal di mana lagi? Lo tuh ... Ih! Nggak boleh gitu loh ke cewek, Tha. Ghosting anak orang jangan dijadikan hobi," omelnya entah yang keberapa kalinya. Saking seringnya mendengar kalimat itu dari Mbak Indah, telinga gue sangat kebal mendengarnya.

"Yee...  Dia yang ngajakin makan siang. Ya, masa gue tolak, Mbak?"

"Dia nggak akan ngambil aksi kalo lo nggak memberikan reaksi duluan, Tha. Kenal di mana yang sekarang? Awas ya, sampe ada yang neleponin gue, bilang yang aneh-aneh tentang kelakuan lo! Atau ada email transaksi yang nggak jelas masuk lagi subuh-subuh. Gini-gini gue di tim bokap lo, Tha." Gue hanya tertawa kecil mendengar umpatan Mbak Indah. Dia mewakili ekspresi semua perempuan yang pada akhirnya tidak lulus seleksi.

"Gue kenal di resto yang di Gunawarman itu, dia lagi photoshoot gitu kemarin. Kita tukeran nomer—ralat. Dia ngasih gue kartu namanya duluan, terus kita kenalan, dan dia ngajakin makan siang sekarang. Just for lunch. No more. Kalo mau laporin, ya laporin aja. Gue nggak tertarik dengan tanggapan Pak Andreas. Dah ya, gue cabut." Akhirnya gue pamitan pergi duluan meninggalkan kantor.

Baru beberapa langkah gue meninggalkan tempat gue berdiri tadi, Mbak Indah nahan gue buat mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya gue mendengarkan dia dulu sampai tuntas. Khawatir dia membahas hal yang penting terkait kerjaan.

"Eh, Tha... Soal orang yang bakal gantiin gue selama cuti tiga bulan, gue udah punya rekomendasi." Kening gue mengkerut, Mbak Indah hampir setipe sama gue yang biasanya nggak mau ribet dan selalu ngomong to the poin. Tapi kali ini opening-nya saja sudah terasa berbeda.

"Siapa?" tanya gue.

"Dia staf dari plan division."

Tuh, kan. Gue sangat yakin Mbak Indah lagi bertele-tele.

"Iya, siapa nama stafnya? Rencananya gue mau minta Mas Dean aja buat gantiin sementara. Biar HRD nge-hire orang baru buat jadi SPV."

"Namanya Shafira. Dia terbilang staf baru sih, belum genap satu tahun kerja di Nata Adyatama. Gue nggak yakin lo mau denger alasannya, lo selalu langsung menolak setiap gue bahas soal ini." Gue jadi teringat omongannya Mbak Indah soal kemungkinan yang masih fifty-fifty waktu makan siang.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang