Bagian 120

15.9K 3.1K 1.6K
                                    

KECANGGUNGAN aneh menyelimuti kami. Usai akad dilangsungkan, acara dilanjut dengan makan-makan. Nggak ada interaksi berarti setelah kami di foto Vian tadi. Seluruh keluarga, baik keluarga gue maupun keluarga Shafira, mereka makan-makan dan berbincang di dalam. Nggak tahu apa yang dibicarakan, namun tawa keluarga gue sangat-sangat mendominasi. Sementara di halaman dibagi menjadi dua meja besar, diisi oleh teman-teman gue dan teman-temannya Shafira.

Dari tiga puluh orang yang diundang itu kayaknya teman Shafira cuma sekitar tujuh sampai delapan orang. Sisanya teman gue semua. Bahkan gue rasa teman dekatnya cuma Kinan. Kita terpisah meja, gue berkumpul dengan teman-teman gue yang cowok, dan dia dengan Kinan juga teman-teman perempuannya.

"Pada ngambil sendiri dong, ah elah... gue pake apron begini mau caper ke istri doang. Bukan mau ngambilin punya kalian juga." Abyan protes setelah menyuguhkan beberapa piring sate kambing muda ke hadapan kami. Padahal nggak ada yang minta diambilkan. Sudah ada mas-mas katering khusus yang disewa untuk menangani itu.

"Yehhh... mentang-mentang punya istri baru. Pengen kelihatan bisa segalanya. Bentar, sambal sama garpunya gue ambilin." Gue bangkit untuk mengambilkan hidangan pelengkap yang ada di meja paling pojok, agar mereka bisa segera menikmati satenya. Bersamaan dengan itu Shafira juga ternyata berniat mengambilkan tisu untuk teman-temannya.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya gue ketika dia datang menghampiri.

"Saya—Ah... maksudnya, aku butuh tisu. Tisu di meja sana abis." Gue mengambil tisu baru dan menyerahkannya. Bahkan Shafira masih sangat canggung untuk nggak berbicara formal ke gue.

"Makasih... aku balik lagi ke meja." Gue mengangguk mengiyakan. Setelah mengambil sepiring lontong, garpu, dan sambal, gue juga kembali ke tempat sebelumnya.

"Daripada duduk dipisah begini, gimana kalau mejanya di satukan aja. Tapi duduknya tetap bersebrangan. Kita bisa berbaur sama mereka. Lagian kasian mas-masnya harus bolak-balik ke meja sini, ke meja sana, nganterin makanan yang udah mateng. Kalau di satukan kan nggak bikin repot..." saran Daffin. Dia sudah berkenalan dengan Vian, Abyan, Dipta, dan teman-teman gue yang lain.

"Boleh tuh, tapi duduknya tetap jaga jarak ya. Yang bukan mahram nggak boleh duduk sampingan. Kecuali yang istrinya ada di sana..." saran Abyan, lagi-lagi menyinggung soal istrinya. Sepertinya dia benar-benar sedang dimabuk cinta. Akhirnya kami sepakat menyatukan meja itu dan duduk mengusung konsep majelis.

Kami duduk melingkar, namun perempuan tetap sebelah kanan dan yang laki-laki duduk sebelah kiri. Gue jelas mencari kesempatan untuk duduk disamping Shafira. Untungnya Kinan seperti mengerti dan berpindah tempat duduk di samping Abyan. Shafira terlihat agak kaget ketika gue menggeser kursi lebih dekat dengannya.

"Aku boleh duduk di sini, kan?"

"Ya, silakan..." katanya mengiyakan, tapi pura-pura mencari kesibukan lain agar tak menanggapi gue yang duduk di sampingnya.

"Bagus nih konsep nikahnya Shafira. Konsep Idul Adha." Ternyata bukan hanya gue doang yang berpikiran seperti itu. Abyan juga berpikiran sama. Gue nggak tahu kenapa dia begitu sibuk dengan Hazm mengurus makanan padahal sudah ada orang yang ditugaskan untuk mengurusnya.

Ketika gue berniat membantu, Hazm terang-terangan menolaknya dengan dalih ini hari spesial gue, jadi gue nggak boleh mengerjakan apapun.

"Eh, tapi kapan lagi bisa makan barbeque kambing fresh kayak gini. Baru disembelih banget dan kambing muda lagi. Haduh dagingnya empuk banget asli. Di Yogya itu ada satu tempat makan namanya Rumah Pak Bayu, dekat kawasan Prambanan. Menunya kambing muda kayak gini. Rasanya weeeennnaak banget. Bikin nagih..." 

"Nanti kita ke sana lagi ya, Sayang..." Semua bersorak ricuh tatkala Abyan melontarkan kata sayang. Sebelum menikah, dia terlihat biasa saja, so cuek, jaga image. Setelah menikah, gue baru menyadari Abyan secinta itu pada istrinya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang