Bagian 62

11.4K 2.7K 1.3K
                                    

SEKITAR setengah jam setelah waktu subuh, gue menghubungi Shafira lagi karena dia nggak memberikan gue kabar apapun. Gue khawatir Nelea nggak bisa dihubungi dan mereka nggak ketemu di Bandara. Berakhirlah Nalea yang pulang sendirian, sementara Shafira yang malah menunggu di bandara berjam-jam.

"Halo, Ra? Udah ketemu sama Nalea?" tanya gue to the point saat panggilan itu tehubung.

"Udah, ini lagi perjalanan pulang sama Pak Daffin. Maaf saya belum mengabari karena baru buka handphone, belum sempat mengecek pesan masuk."

"Daffin? Daffin manager arsitektur-kontruksi?" Tanya gue. Padahal dalam hidup gue, orang yang bernama Daffin hanya ada satu orang. Jelas-jelas Daffin yang dimaksud Shafira adalah orang yang sama dengan Daffin yan gue kenal.

"Iya, Pak Daffin." Gue nggak kepikiran meminta tolong pada Daffin untuk menjemput Nalea. Bagaimana gue bisa kepikiran kalau nomornya saja sengaja nggak gue save. Mungkin Daffin sendiri yang berinisiatif menawarkan diri untuk menjemput Nalea, mengingat mereka berdua berteman. Pertemanan yang perlu digarisbawahi.

"Saya belum dapet notif email kalau Anda sudah check in di Karawang. Anda udah sampai?"

"Ah, ya. Itu... Saya kejebak banjir di Bekasi, nginep di hotel yang deket sini. Baru pagi ini mau melanjutkan perjalanan ke Karawang. Bisa berikan hanpdhone kamu ke Daffin sebentar? Saya mau bicara sama dia," pinta gue. Nggak lama dari itu handphone berpindah tangan dan suara Daffin langsung terdengar.

"Halo, Tha?" tanyanya pertama.

"Lo mau nganter Nalea pulang ke mana? Ke rumah orang tuanya yang di Depok atau ke apartemennya yang di Jaksel? Kalau misalnya Nalea pulang ke Depok, lebih baik lo nganter Shafira pulang dulu. Rumahnya di Jakpus, lebih deket. Biar dia nggak perlu bolak-balik. Jam segini masih terlalu pagi buat pulang sendirian."

"Sebenarnya lo khawatir sama siapa?" tanyanya menyebalkan.

"Mereka sama-sama perempuan. Meski mungkin bagi lo, Shafira nggak lebih penting dari anak mentri. Tapi dia tetap penting di mata keluarganya. Baik Safira maupun Nalea, gue perlu memastikan kalau mereka sampai ke rumah mereka masing-masing dalam keadaan aman. Gue cuma memberikan opsi terbaik, supaya lo nggak repot."

"Oke, deal. Gue antar Shafira dulu. Nalea pulang ke apartemennya kok. Gue tutup ya, lagi nyetir." Belum gue merespon, panggilan itu sudah diputus begitu saja oleh Daffin.

Terserah lah, seenggaknya gue udah tahu kalau mereka sudah dalam perjalanan pulang. Gue perlu mengumpulkan fokus untuk menyelesaikan pekerjaan di kantor cabang hari ini.

Niat hati meringkas pekerjaan supaya bisa lebih lama menikmati liburan, nyatanya liburan hanya bisa gue pakai untuk rebahan di hotel selama hampir tiga hari berturut-turut.

Sabtu itu, tepat ketika pulang dari kantor cabang menuju hotel, gue mendadak demam. Jangankan liburan di Karawang, gue terlalu sibuk mengurusi hidung yang nggak ada berhenti-berhentinya mengeluarkan lendir. Terlalu sering bersin membuat kepala gue pening. Kayaknya gue kena flu.

Hari Rabu siang, gue memutuskan untuk check out dari hotel dan kembali ke Jakarta, mengingat besok gue harus udah masuk kerja lagi. Rencananya sampai Jakarta nanti, gue akan check up ke dokter karena obat-obatan dari apotek yang biasanya gue pake, nggak berhasil membuat tubuh gue sepenuhnya pulih.

Namun ternyata ketika sorenya sampai di Jakarta, gue bahkan gak sanggup buat berdiri, apalagi menyetir. Bersyukur gue masih bisa sampai apartemen dengan selamat. Kepala gue terasa begitu pusing setiap kali gue berdiri. Meskipun flunya udah reda, demamnya masih naik turun dan seluruh persendian gue terasa sakit.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang