Bagian 98

12.3K 2.9K 2.2K
                                    

SERINGKALI kita menganggap ujian hanya dalam bentuk kesulitan, sementara kelapangan dimaknai sebagai rezeki. Contoh sederhananya kayak punya anak. Tidak bisa punya anak itu dianggap ujian, padahal punya anak juga ujian. Mendidiknya, mengenalkannya agama, membesarkannya, bertanggung jawab atas akhiratnya selama ia belum baligh, atau kehadiran gue untuk ibu dan papa dulu. Itu semua juga ujian.

Tidak menikah itu ujian, padahal menikah juga ujian. Hidup dengan orang yang memiliki perbedaan, ketidakstabilan finansial, kesehatan pasangan yang menurun, pihak-pihak terkait di luar pernikahan seperti mertua, ipar, tetangga, atau bahkan orang ketiga yang kerap kali juga jadi masalah.

Para perempuan yang pada awalnya mengira pernikahan hanya berisi hal manis, namun ternyata setelah mereka menikah, mereka baru menyadari kalau ternyata takdir mereka seperti Asiah binti Muzahim. Suami mereka berkarakter Firaun, bagi mereka menikah ujian. Atau hal yang sangat umum dipandang ujian, yaitu miskin.

Padahal menjadi kaya ujiannya lebih dahsyat lagi. Riya, sombong, serakah, kufur nikmat, riba, pelit, cinta dunia, hasad, lalai terhadap kewajiban, dan dengki melihat orang lain lebih kaya. Hal-hal tersebut lebih banyak mengancam orang-orang dengan ekonomi kelas atas.

Kadang kita sebagai manusia lebih banyak yang nggak lolos dengan ujian kelapangan, dibandingkan ujian kesulitan.

"Ah, tapi kan lebih enak kaya, Tha. Pernah dengar kalimat, uang bukan segalanya, tapi lebih baik menangis di dalam BMW? Kalimat itu sebelum banyak dipake di twitter sama orang Indonesia, udah pernah viral duluan di Tiongkok tahun 2010." Begitu jawaban yang gue dapat dari Dipta. For your information, gue bukan dengan sengaja menemuinya untuk membahas hal ini. Kita sedang menghadiri konferensi yang sama di Bangkok dan saat itu sedang jam makan siang.

"Lagian jadi kaya itu, walaupun entar riba, sombong, dan semua yang lo sebutkan tadi. Gampang mengurangi dosanya... Tinggal sedekah bermiliar-miliar, lo biayain orang lain naik haji atau umrah, atau lo yang umrah sesering yang lo mau, lo bisa bangun rumah sakit dengan fasilitas gratis, lo bangun sekolah di tempat-tempat terpencil, lo juga bisa beli tanah, terus pake wakaf, dibangun panti asuhan, biar bisa panen pahala double. Udah, kelar semua. Pahala lo lebih banyak daripada dosa-dosa yang lo sebutkan tadi."

"Coba bayangkan kalau lo jadi orang miskin, terus dengki sama orang kaya. Mereka bisa apa? Jangankan previlage untuk bangun panti, untuk makan besok aja mereka perlu kerja keras dulu," opini Dipta.

"Oke, kita anggap semua yang lo katakan itu mungkin bisa dilakukan. Tapi apa ada yang bisa menjamin, setelah lo menjadi kaya lo ikhlas mengeluarkan uang sebanyak itu cuma buat sedekah? Lo sanggup mengeluarkan uang untuk membesarkan anak yatim? Kalau ternyata lo nggak menyadari selama ini lo sombong gimana? Kalau ternyata lo nggak tahu transaksi yang selama ini lo lakukan itu riba gimana? Lo nggak akan pernah melakukan semua kebaikan yang lo bilang tadi."

"Jangankan sedekah, pajak aja masih ada yang dimanipulasi supaya bisa bayar setengah. Zakat? Jaman sekarang orang punya harta udah jarang kepikiran zakat mal. Kalau setelah menjadi kaya, ternyata lo bukannya sedermawan Abdurrahman bin Auf dan malah senasib sama Tsalabah gimana?"

"Aduh! Tsalabah siapa lagi sih, Tha. Plis deh, diskusi kayak gini jangan ke gue. Kayaknya lo masih bisa cari ustaz di Thailand, kalau nggak salah populasi muslimnya ada sekitar 15%."

"Tsalabah tuh figur orang yang minta di doakan supaya jadi kaya raya sama Nabi, tapi pas udah kaya malah lupa diri, sampai zakat aja nggak mau bayar. Gimana gue mau diskusi sama ustaz di sini, gue cuma bisa ngomong sawatdii khrap, phom cheuu Athaya Khalil Adnan Adyatama kha." Dipta terbahak-bahak mendengar aksen Thailand gue.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang