TADINYA gue turun lebih dulu untuk mendapat tempat duduk yang view-nya enak, tapi gue juga sudah mengambilkan beberapa makanan untuk Nelea karena sistem breakfast itu seperti sistem parasmanan di undangan. Gue boleh mengambil makanan apapun semuanya, sepuasnya, tapi self service.
Gue melambaikan tangan saat mendapati Nalea terlihat datang dengan pakaian yang lebih sopan, meski jelas dia nggak mungkin tiba-tiba menggunakan hijab, tapi seenggaknya pakaian itu lebih bisa membuat gue nyaman dibandingkan pakaian yang dia pakai sebelumnya.
"Nggak akan panas olahraga pakai pakaian kayak gini? Kita jogging di pantai, kan?"
"Insyaallah, nggak akan. Masih pagi kok ini. Kita cuma jogging sebentar, lagi pula kamu lebih cantik kayak gini. Makanannya udah aku ambilkan. Ini sarapan kamu dan ini minumnya, kalau kamu mau menu yang lain nanti aku ambilin lagi." Gue menggeser piringnya ke arah Nalea agar lebih dekat.
"Aku nggak ambil sate, karena tadi kata chef-nya satenya sate kambing. Kamu nggak suka daging kambing."
"Aku suka sate kambing, yang nggak bisa aku makan itu udang. Aku alergi..." Gue terdiam mendengar hal itu. Gue lupa, yang nggak suka daging kambing itu Shafira bukan Nalea, dan sepertinya Nalea bisa membaca situasi tersebut.
"Oh iya, aku lupa kamu alergi udang. Kalau gitu aku ambilkan satenya sebentar ya." Nalea menahan gue untuk tetap duduk.
"Nggak usah, nggak apa-apa. Makan aja, nanti aku bisa beli sendiri." Gara-gara kebodohan gue itu, kami sarapan dalam keheningan. Nalea sama sekali nggak berbicara.
Sepertinya kejadian saat sarapan itu benar-benar merusak mood-nya. Nalea masih mendiamkan gue bahkan saat kami sudah berada di pantai. Kami jadi seperti jogging masing-masing. Nalea hanya menjawab ketika gue tanya doang, seolah pembicaraan itu hanya berlangsung satu arah. Gue memikirkan bagaimana caranya membuat Nalea nggak marah lagi.
Akhirnya gue punya ide untuk nggak langsung kembali ke hotel setelah olahraga, tapi mengajaknya berkeliling sebentar ke tempat-tempat yang penjual oleh-oleh khas Bali. Nggak jauh dari tempat itu, ada satu jalan yang khusus menjual pernak-pernik semacam tas kalung baju dan barang-barang kerajinan khas Bali lainnya.
Dia antusias menarik tangan gue ke tempat-tempat penjual aksesoris. "Aku mau nyari gelang couple, ya? Kayaknya udah lama nggak punya barang yang sama."
"Boleh, kamu yang pilih ya. Selera aku nggak bisa diharapkan soalnya," jawab gue supaya Nalea segera melepas genggamannya dan memilih pernak-penik yang ingin dibelinya. Tempat tersebut lumayan banyak pengunjung hari itu, gue memilih menepi di pojok yang lebih sepi, memainkan handphone, sambil menunggu Nalea memilih.
Nggak lama, Nalea menghampiri gue lagi saat gue masih fokus sama handphone. Dia membawa beberapa gelang pilihannya, namun gue nggak sempat menyimaknya.
"Ini bagus nggak?" Gue agak lambat meresponnya karena suaranya hanya masuk sebagian ke telinga gue.
"Kamu lagi nunggu Shafira balas pesan, ya?" Entah bagaimana Nalea tahu kalau gue memang sedang menunggu balasan dari Shafira. Masalahnya pesan yang kemarin sore gue kirim, belum dibaca sama sekali. Gue khawatir ada urgent yang nggak bisa dia handle sendiri.
"Aku agak khawatir aja soal kerjaan. Minggu lalu aku ke Dubai, otomatis semua pekerjaan ditarik ke minggu ini. Jelas kerjaannya jadi banyak, aku takut Shafira nggak bisa handle aja. Mana tadi gelang pilihan kamu?" Nalea tiba-tiba menaruh semua barang yang dipegangnya ke rak paling dekat.
"Nggak usah! Aku mau balik lagi ke hotel aja!" Dia keluar dari toko itu meninggalkan gue.
Saat itu gue hendak mengejarnya, namun sebelum itu gue sempatkan untuk membeli dan membayar semua pilihan Nalea tadi. Jelas dari nada bicaranya gue tahu Nalea sangat marah. Gue nggak bermaksud mengabaikannya, gue cuma lagi nggak fokus aja waktu dia nanya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...