JUMAT ini terasa lebih menyenangkan dibandingkan Jumat-Jumat sebelumnya. Sebab saat gue melihat kalender beberapa menit lalu, deretan angka merah berjejeran untuk beberapa hari ke depan, menunjukkan akan ada libur panjang yang menanti. Dua hari weekend ,ditambah dua hari libur Nasional, dan hari kejepit di hari Selasa. Kantor Nata Adyatama akan terasa kosong, sebab mereka pasti memiliki pikiran yang sama untuk menghabiskan jatah cuti tahunan.
Pak Iman melakukan hal yang sama. Ketika dia menyadari akan ada libur yang cukup panjang, dia mendadak mengajukan cuti ke gue untuk pulang ke Boyolali. Karena dirasa tidak ada pekerjaan ke luar kota dalam waktu dekat yang membuat gue membutuhkan Pak Iman. Gue mengizinkannya. Namun sebelum itu, dia tetap mengotot ingin mengantar gue meeting ke Grand Plaza. Padahal gue sudah memintanya untuk pulang lebih awal agar bisa dapet tiket kereta paling cepat.
Katanya dia sudah dapat tiket kereta untuk keberangkatan habis magrib. Dia masih punya waktu untuk mengantar gue ke tempat meeting. Sesuatu yang entah perlu gue syukuri atau tidak, sebab kehadiran Pak Iman membuat Shafira mau ikut pergi bersama. Kalau hanya gue yang menyetir, Shafira akan berpikiran dua kali untuk ikut meski destinasinya sama.
"Tumben belum di jemput Abangnya, Mbak Shaf?" Pak Iman memecah keheningan di dalam mobil.
"Iya, Pak. Abang saya ada keperluan mendadak, mungkin bisa jemput setelah meeting nanti. Pak Iman kenal sama kakak saya?"
"Sering ngobrol, kadang ketemu di masjid pas ashar atau di pos depan kalau lagi nunggu Mbak Shaf pulang. Waktu saya pertama ketemu Mas Hazm itu, wah, masyaallah... saya kayak ketemu supermodel yang wajahnya sering saya lihat di billboard digital yang di City Vision itu loh, Mbak." Gue mendengar Shafira tertawa kecil, mungkin karena tidak sependapat dengan Pak Iman.
Setelah itu perjalanan hanya berisi pembicaraan tak berarti. Gue dan Pak Iman membicarakan soal rencana mudiknya yang tak terduga. Padahal dia bisa membawa salah satu mobil gue, atau gue bisa membiayai mobil rental agar dia mudik dengan nyaman tanpa harus turun-naik kereta. Namun Pak Iman menolak, dengan alasan dia bisa menikmati pemandangan dan tidur selama perjalanan.
Sampai di Grand Plaza, Pak Iman memarkirkan mobil di lantai A5 dan menyerahkan kuncinya ketika turun. "Seneng banget mentang-mentang mau ketemu istri. Selamat liburan, Pak. Salam buat keluarga ya," ucap gue.
"Makasih, Mas Atha. Entar saya bawain oleh-oleh kesukaan Mas Atha, petis sapi."
"Wah... Harus itu, Pak. Kalau bisa sama abonnya juga. Kan saya kasih izin cutinya sepuluh hari loh, Pak Iman jadi dua Minggu di sana," balas gue. Pak Iman hanya tertawa mendengar bercandaan gue. Setelah itu dia benar-benar berpamitan dan berlalu pergi.
"Pak Iman nggak pernah ambil cuti kalau lagi lebaran atau akhir tahun karena harus nganter saya kemana-mana, bahkan sampai harus menginap di luar kota. Makanya, saya kasih izin untuk mengambil cuti kapanpun dia mau, diluar dari libur hari raya dan akhir tahun. Lagipula Pak Iman bekerja sama saya, bukan supir kantor."
"Begitu ya, tapi... Dari mana Anda bisa tahu isi pikiran saya, saat saya nggak menanyakannya?" tanya Shafira heran saat kami meninggalkan area tempat parkir.
"Semua pertanyaannya udah jelas terpampang dari mimik wajah kamu," jawab gue sambil mendahuluinya berjalan.
"Akses pintu masuk Mall-nya sebelah sana," Shafira menunjuk arah lain di saat kami melangkah ke arah yang berlawanan.
"Saya belum sholat Ashar. Kamu juga belum sholat, kan?" Dia menggeleng pelan yang gue asumsikan dia memang sedang tidak sholat.
"Kalau begitu kamu bisa ke restorannya aja duluan, tempat makannya deket banget dari pintu masuk lobi utara." Dia menggeleng lagi dan tetap mengikuti langkah gue, seperti anak kucing kehilangan induknya. Ya Allah, lucunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...