GUE tetap mengirimkan hadiah ke pernikahannya Hazm maupun pernikahannya Rafif. Gue menghargai undangan mereka, meski Rafif mengirim undangan jelas hanya sekadar formalitas hubungan kerja. Seminggu kemudian gue balik dari Australia, dengan segala hal yang berantakan. Pekerjaannya selesai, tapi nggak semaksimal yang gue harapkan. Pekerjaan yang gue tinggalkan di kantor juga banyak yang nggak selesai, sebab Mas Dean belum bisa meng-cover seluruhnya.
"Wih, Masyaallah. Penampilan baru nih, Bu Rin." Bu Rina yang biasanya pake celana dan kemeja ke kantor, untuk pertama kalinya gue lihat dia pake gamis. Meski hijabnya masih model ibu-ibu pejabat.
"Iya dong. Kamu yang nggak ada perubahan. Setiap pagi datang dengan kantung mata. Bagus nggak, Tha? Saya begini ke kantor." Gue baru pulang dari Australia Minggu sore, Senin paginya harus udah masuk kantor lagi. Gimana kantung mata nggak bengkak.
"Bagus dong, Bu. Makin cantik. Saya sangat mendukung ibu untuk kayak gini seterusnya."
"Kadang suka nggak pede, Tha. Badan udah melar pake baju kayak gini. Kalau Shafira sih bagus, dia kan kecil. Btw, ini hadiah perpisahan dari Shafira Minggu lalu. Dulu saya pernah nanya di mana Shafira sering beli baju-baju yang syar'i tapi tetap kasual dan elegan. Bawaannya adem aja lihat Shafira. Saya nggak nyangka bakalan dikasih baju."
"Ibu aja yang dikasih?"
"Pak Abdul dikasih sepatu. Dean juga dikasih mousepad bantal biar tangannya nggak cepet pegal, kerja jadi sekretaris sering pake komputer kan. Yang saya tahu cuma mereka. Nggak tahu siapa lagi yang dikasih."
Gue kira gue doang yang diberi hadiah. Padahal gue sudah senang karena merasa diperhatikan, dia memberi barang yang paling gue butuhkan. Mirisnya ternyata dia memberikan perhatian dan hadiah pada beberapa orang juga. Ini seperti dibawa terbang setinggi-tingginya, lalu dijatuhkan tanpa aba-aba.
"Oh iya, congrat ya, Tha." Saat diri lagi lemas-lemasnya, gue tiba-tiba mendapat ucapan dari Bu Rani. Saat itu di dalam lift bukan hanya ada kami berdua.
"Selamat buat apa nih, Bu?" Gue nggak berharap dia memberikan selamat karena gue punya sekretaris baru.
"Pak Jo katanya mau mengajukan pensiun dini bulan ini. Dia mau ikut tinggal sama anaknya, pindah ke Jerman. Pasti kamu nanti yang menggantikan posisinya..." Entah sesuatu yang perlu gue syukuri atau tidak, yang pasti gue menghela nafas mendengar itu.
"Belum ada gantinya, ya?" tanya gue. Kalau gue jadi direktur perencanaan, minimal harus sudah ada orang yang mengisi posisi gue sebagai manager.
"Belum, HRD suka lama rekrutmennya kalau buat posisi manager ke atas. Mereka pilih-pilih banget." Setelah pembicaraan itu, gue berpisah dengan Bu Rani dan berjalan menuju ruangan. Ternyata Mas Dean sudah lebih dulu datang.
"Assalamualaikum. Pagi, Mas. Pagi banget datengnya." Mas Dean menjawab salam gue dan membalas ucapan selamat pagi.
"Saya datang lebih pagi, supaya bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan. Loyo bener, Pak, hari ini."
"Kerja keras boleh, tapi jangan terlalu royal, Mas. Besok datang di jam biasa aja, ya? Toh berangkat pagi nggak membuat dibayar lebih. Entar kalau sampai sakit, perusahaan cuma tinggal bayar asuransi, pegawai tinggal cari lagi. Keluarga yang justru dibikin sedih dan repot."
"Siap, Pak."
"Oh, iya. Masih ada tiga puluh menit lagi nyampe jam delapan. Saya mau tidur dulu sebentar. Nanti bangunin saya jam delapan pas ya, Mas. Baru kita mulai kerja." Mas Dean mengiyakan. Gue berlalu masuk ke dalam.
Hadiah dari Shafira masih gue taruh di lemari di bawah meja beserta kotaknya. Gue mengambil bantal leher hoddie itu, kemudian memakainya dan membaringkan diri di sofa tamu yang panjangnya cukup menahan beban tinggi badan gue.
Gue nggak langsung tidur karena handphone di saku celana terasa getar. Ada pesan masuk dari Abyan yang menanyakan kealfaan gue datang kajian Sabtu lalu. Gue mengatakan kalau gue menonton live streaming-nya karena lagi ada kerjaan di Australia. Di bagian bawah nama kontak Abyan, ada nama Shafira.
Gue membuka dan membaca kembali pesan-pesannya meski nggak ada yang spesial di sana. Isinya hanya soal kerjaan. Bahkan untuk mengirim pesan dan menanyakan kabar saja gue nggak berani.
Katanya laki-laki makhluk yang logikanya paling bisa diandalkan. Lantas mengapa gue nggak bisa menggunakan logika untuk melawan segara hal yang ada di dalam hati.
Sepertinya Allah punya cara lain untuk membuat gue benar-benar melupakan Shafira. Cara paling hebat dan ampuh yang membuat gue nggak punya waktu sedikitpun, bahkan untuk memikirkan diri gue sendiri. Pak Jo benar-benar pensiun. Sebulan setelah gue kembali dari Australia.
Ini sesuatu yang gue anggap sebagai musibah, sebab HRD nggak langsung menemukan orang untuk mengisi posisi plan manager. Nggak ada angin nggak ada hujan, gue diminta untuk mengisi posisi direktur perencanaan, tanpa punya pengganti untuk mengisi manajer perencanaan.
Katanya mereka usahakan bulan depan sudah menemukan orang yang tepat untuk posisi tersebut, sebab divisi perencanaan adalah otak dari bisnis ini agar bisa tetap berjalan. Sehingga untuk sekarang-sekarang, gue meng-handle dua bagian sekaligus.
Padahal gue minta Dean untuk jadi sekretaris gue, agar pekerjaan gue lebih mudah karena Dean sudah dipastikan bisa mendampingi gue kalau lagi ada perdin ke luar kota atau luar negeri. Namun yang terjadi malah sebaliknya, gue bahkan mencoba mengatur schedule gue sendiri, sebab Dean banyak gue bebankan jobdesc manager dibandingkan jobdesc sekretaris.
Ini jatuhnya gue jadi direktur perencanaan yang bekerja tanpa sekretaris, dan Mas Dean yang harusnya bekerja sebagai sekretaris, malah mengerjakan segala jobdesc manajer. Kami berdua sama-sama keteteran. Apalagi Dean, gue seperti mencekiknya dengan pekerjaan secara perlahan.
Keinginan untuk semakin taat setelah Shafira pergi, ternyata tidak sejalan dengan kenyataan yang gue harapkan. Bukannya makin taat, gue malah merasa makin jauh. Gue nggak kembali ke jalan yang dulu, gue udah benar-benar nggak minum atau melakukan hal-hal yang di larang, tapi gue merasa diperbudak dunia.
Dalam sehari gue bisa tidur di Malaysia bangun-bangun harus sudah ada di Shanghai. Parahnya gue mulai kesulitan untuk bisa selalu berjamaah di lima waktu salat, kadang gue lebih sering salat di pesawat.
Iseng-iseng, saat menunggu jam keberangkatan di Bandara Internasional Hongqiao untuk balik ke Soeta, gue mengecek keseluruhan tabungan dan saham yang gue punya. Akhir-akhir ini gue juga mulai membuat catatan untuk segala pengeluaran di luar dari hal-hal yang dibiayai kantor. Gue membandingkan dua hal tersebut.
Gue bisa punya lebih banyak waktu sambil kerja freelance selama kurang lebih tiga tahun dengan semua dana tersebut.
Kayaknya gue perlu resign.
__________
To be continued.
Ninggalin salat berjamaah buat kerja.❎
Ninggalin kerjaan buat bisa salat berjamaah. ✅Semua tergantung rekening, ya, Tha. 🤧
Tahu, kan, apa yang harus dilakukan untuk bisa meeting besok malam?
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...