Extra Chapter 7B

16.1K 2.9K 742
                                    

PERJALANAN Jakarta-Karawang sebenarnya bukan perjalanan yang baru buat gue. Gue sudah sangat sering bolak-balik ke sana karena ada kantor cabang Nata Adyatama di sana. Sayangnya mencari supplier kain yang hanya mendengar alamatnya setengah-setengah dari orang lain adalah sesuatu yang baru buat gue. Beberapa kali gue sama Shafira mampir di beberapa tempat dan beberapa kali juga kami nyasar dan harus putar arah lumayan jauh.

Hingga akhirnya gue dapat alamat pasti salah satu supplier kain dari salah satu kenalan gue yang memang tinggal di daerah Karawang. Maka berakhirlah perjalanan kami sore itu setelah menemukan kain yang cocok dan sama persis seperti yang Shafira butuhkan dari supplier terkahir tersebut.

Setengah jam perjalanan pulang, kami memutuskan untuk istirahat dulu sambil menunggu azan Asar di salah satu masjid yang berdampingan dekat dengan sebuah restoran. Gue menikmati seporsi ikan gabus bumbu pucung dan semangkuk soto gempol.

Sekarang gue tahu alasan kenapa cowok kalau udah nikah, biasanya bertambah berat badannya. Gue cuma pesan ikan gabus bumbu pucung, tapi soto gempol yang dipesan Shafira nggak habis. Akhirnya daripada mubazir, gue yang menghabiskan. 

Beberapa kali gue mengecek handphone karena rasanya sudah harus masuk waktu Asar, tapi azan belum terdengar berkumandang. Sampai ketika gue dan Shafira selesai makan dan berjalan menuju masjid pun, cuma ada kita berdua di sana. Padahal resto lumayan penuh tadi. Hingga munculah lelaki muda yang kebetulan gue lihat jaga kasir tadi.

"Pak, maaf. Bisa azan? Ini kebetulan orang yang biasa azannya lagi nggak ada..." pintanya. Belum mengajukan pertanyaan yang memenuhi pikiran gue saat itu, pria muda tersebut sudah menjelaskan terlebih dahulu kondisinya.

"Saya... nggak bisa azan, Pak," katanya agak kikuk. Akhirnya gue iya kan karena waktu azan sudah lewat lima menit dari seharusnya. Sambil membawa kunci yang entah kunci apa, anak muda itu membantu gue menyalakan mic luar masjid dan mengajarkan bagaimana cara mematikannya.

Gue lumayan sering azan waktu masih mengaji subuh-subuh ke Ustaz Harits. Mungkin dulu saat masih jadi sekretaris gue, Shafira udah sering melihat gue salat, tapi ini pertama kalinya dia mendengar gue mengumandangkan azan.

Beberapa menit setelah azan dikumandangkan, gue nggak melihat tanda-tanda akan ada yang berjamaah ke masjid. Bahkan anak muda tadi, pergi entah ke mana. Shafira yang salat dibelakang gue—terhalang tirai hijau masjid—tiba-tiba menyembulkan kepalanya. Dia menanyakan berapa lama lagi akan menunggu orang-orang datang.

Akhirnya gue yang azan, gue yang iqomah, gue juga yang jadi imam, dan makmumnya cuma Shafira doang. Betapa menyedihkan kondisi akhir zaman ini. Azan berkumandang tapi orang-orang tak terusik dan sibuk dengan urusannya masing-masing.

Being religious or close to Allah doesn't mean you're perfect. Kalau menilai orang yang menjalankan salat adalah orang yang sempurna, maka hal tersebut penilaian yang salah besar. Tak pernah ada kesempurnaan yang melekat pada manusia, setelah wafatnya manusia paling sempurna. Orang yang salat adalah orang yang butuh.

Kita sering kali mengingat Allah saat sedang menghadapi masalah, kita sering kali meminta pertolongannya saat membutuhkan sesuatu. Lantas di mana letaknya rasa malu kalau selama ini yang kita berikan hanyalah kelalaian.

"Suara azan kamu bagus, tapi kok kayaknya agak ketahan tadi..." Shafira tiba-tiba mengatakan itu ketika kami berdua duduk di teras masjid untuk memakai sepatu. Padahal masjidnya nyaman dan bersih. Mungkin karena saking jarangnya orang-orang datang ke sana.

"Ya, memang nggak maksimal tadi. Sengaja aku tahan karena takut kelepasan sendawa pas lagi pake mic. Hehehe... Masalahnya tadi baru banget beres makan, Ra. Terus diminta buat azan tuh rasanya subhanallah." Gue terkekeh kecil, dan Shafira malah benar-benar tertawa lepas mendengar itu. Ya, memang suara gue agak parau gara-gara nahan sendawa tadi.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang