SHAFIRA menjadi satu-satunya perempuan yang nggak merespon apapun waktu gue memberikan atensi lebih lewat perkataan. Tubuh gue di Bali, pikiran gue melayang-layang di Jakarta. Mungkin pengakuan gue kurang jelas ya waktu di rest area itu. Harusnya gue mengatakannya secara terang-terangan, bukan dengan memberikan pertanyaan implisit seperti kemarin. Gue bilang aja kalau gue memang mengikuti event tersebut karena memang khawatir pada dirinya.
Bisa-bisanya dia nggak menghubungi gue sama sekali atau menanyakan apapun setelah pernyataan itu. Malah jadi gue yang kepikiran selama perdin dan menganggu ke kerjaan, bahkan mungkin diamnya jadi suatu penolakan. Gue tahu, kedepannya mungkin gue akan mengalami perasaan sepihak. Mengingat gue juga tahu lelaki mana yang lagi dia sukai. Tapi gue masih menganut paham "Selama janur kuning belum melengkung, usaha aja dulu."
Seharian ini gue cuma mantengin laptop yang menampilkan pekerjaan gue dari kamar vila yang menyuguhkan pemandangan pantai. Mata gue bolak-balik mengecek handphone, berharap Shafira menghubungi meski itu soal kerjaan. Minimal ada pintu untuk memulai pembicaraan.
Nggak bisa kayak gini! Gue harus nanyain langsung.
Akhirnya gue mengambil benda itu. Membuka pintu balkon untuk mencari udara yang lebih luas. Belum sempat menekan kontak paling atas untuk menghubungi orang tersebut. Ternyata Shafira sempat menghubungi gue lebih dulu. Bukan hanya sekadar pesan, ini telepon. Gue nggak lagi berhalusinasi karena ada notif satu panggilan tak terjawab setelah itu.
Gue menghubunginya balik. Nggak nyampe dering pertama panggilan itu langsung di angkat. "Halo, ada apa menghubungi saya, Ra?"
"Enggak... Tadi itu, ada tamu yang datang ke kantor dan bilang mau menemui Anda, dia meminjam handphone saya untuk menghubungi Anda tapi tiba-tiba teleponnya dimatikan."
"Siapa?"
"Saya nggak tahu, kayaknya bukan tamu kantor. Dia pake baju seragam sekolah soalnya." Gue langsung otomatis mengingat Sheina. Siapa lagi yang berani menyusul gue ke kantor dengan seragam kalau bukan anak satu itu. Gue memijit kening tipis, berharap angin yang berhembus bisa mendinginkan sedikit pikiran gue.
"Kamu ajak dia ngobrol sebentar habis itu minta dia pulang aja," pinta gue. Semoga saja Sheina nggak melakukan hal-hal aneh yang bikin kesal di kantor.
"Oh, baik kalau gitu..." Shafira hendak menutup panggilannya sebelum perkataannya terpotong karena gue bersuara lagi.
"Ra..."
"Ya?" Pikiran gue yang sempat kalut karena Sheina, tergantikan dengan udara yang agak sulit memenuhi rongga paru-paru. Entah apa yang gue rasakan saat itu. Mungkin gue sedikit gugup untuk menanyakannya.
"Waktu kita mau pulang dari rest area minggu lalu, kamu denger apa yang saya bilang, kan?"
"Ah... waktu itu, mobil yang parkir disebelah mau keluar juga dan suara mesinnya bikin saya nggak bisa mendengar suara Anda. Memangnya apa yang ingin Anda katakan? Ada kerjaan yang terlewat?" Gue meringis mendengar itu, ternyata dia nggak mendengar apapun.
Antara sesuatu yang gue syukuri karena ternyata dia nggak merespon memang karena dia nggak denger. Juga sesuatu yang gue sesali, karena akan sulit menemukan momen yang pas untuk mengatakan hal yang sama lagi.
"Halo?"
"Nggak, bukan apa-apa. Sekarang di sana baru jam istirahat, kan? Kalau gitu kamu nggak perlu lama-lama ngobrol sama anak SMA tadi suruh dia langsung pulang aja biar kamu bisa cepat istirahat." Gue mengatakan itu, mengingat perbedaan waktu antara Bali dan Jakarta yang lebih dulu satu jam. Setelah itu gue yang mengakhiri panggilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...