Bagian 94

11K 2.8K 709
                                    

SATU-SATUNYA orang yang bisa meng-ghosting gue hanyalah klien.  Ternyata benar, kami perlu menunggu di tempat itu sampai selesai jam makan siang dan klien baru muncul setelahnya, saking lamanya mereka terjebak macet. Gue nggak tahu apa yang terjadi, mungkin ada kecelakaan atau sebenarnya mereka memang telat berangkat dari sana, entahlah. Intinya meeting baru dilakukan setelah jam makan siang dan berakhir tepat saat jam kerja selesai.

Karena Dean dan Shafira pergi bareng gue, saat pulang pun mereka ikut nebeng di mobil gue. Pulang pun Dean yang menyetir, gue duduk di sampingnya, sementara Shafira seperti biasa duduk di kursi belakang sendirian.

Dean turun lebih awal karena rumahnya lebih dekat dari Akhtaj Kafe dibandingkan kantor. Dari tempat Mas Dean turun, gue menggantikannya untuk menyetir. Mungkin hal tersebut membuat Shafira nggak nyaman karena harus berduaan di mobil dengan gue, terdengar dari nada bicaranya yang berubah saat Dean akan turun. Dia bahkan tiba-tiba berencana untuk turun di tempat yang sama di mana Mas Dean turun.

"Kamu kan harus ngambil motor dulu di kantor, Shaf. Mending bareng Pak Athaya aja, biar sekalian. Dari sini jalur angkutan umum harus muter dulu, jauh jalan kakinya. Susah juga dapat ojek online."

"Kalau kamu nggak nyaman satu mobil sama saya, kamu boleh kok tetap duduk di belakang. Buku aja jendelanya." Gue memberikannya opsi. Lagipula lima menit dari sini, gue perlu menjemput Sheina dulu. 

"Beneran boleh?" tanyanya. Gue mengangguk mengiyakan. Mungkin dia merasa nggak sopan ketika gue menyetir untuknya. 

"Atau mau saya pesankan taksi lagi? Nanti saya ikutin dari belakang kayak waktu itu." Dean sampai terlihat heran ketika gue menawarkan itu. Shafira menggeleng pelan, dia tetap pada opsi yang pertama.

"Ya udah, Mas. Saya langsung lanjut kalau gitu. Makasih buat hari ini ya..." Gue berpamitan pada Mas Dean.

Beberapa saat setelah mobil melaju, gue kembali membuka pembicaraan soal rencananya resign-nya Shafira. Mengingat pernikahannya dibatalkan, gue berharap Shafira masih bisa bekerja di Nata Adyatama.

"Ra..." panggil gue pertama sambil melirik sebentar pada kaca spion depan.

"Kamu yakin jadi resign? Maksud saya... saya bisa menarik surat resign kamu dari HRD kalau kamu masih mau tetap kerja di Nata Adyatama, even though you want to go back to your previous division. Nanti Dean tetap jadi sekretaris saya dan kamu bisa balik lagi ke posisi kamu sebelumnya." Dia nggak langsung bicara, ada jeda sebentar seperti tengah berpikir.

"Sebenarnya saya punya pikiran untuk mencoba bekerja di bidang lain, selain properti. Ngomong-ngomong, kenapa lewat jalan ini? Harusnya kalau mau ke kantor ngambil jalan lurus, kan?" tanyanya ketika mobil berbelok ke arah yang bukan seharusnya.

"Saya mau jemput Sheina dulu sekalian. Nggak apa-apa, ya?"

"Kalau Anda mengajak Sheina hanya karena merasa nggak nyaman sama saya, lebih baik saya turun di dekat sini aja. Transportasi umum kayaknya udah gampang kok kalau dari sini."

"Enggak kok. Sheina mau nginep di apartemen saya hari ini. Sekalian jemput dulu aja biar nggak perlu bolak-balik. Jadi nanti dari kantor bisa langsung ke Jaksel." Gue menjelaskan kronologisnya supaya dia tidak merasa keberatan untuk ikut dulu. 

Mobil gue akhirnya terparkir di rumah yang di Menteng, gue minta Shafira untuk menunggu sebentar di mobil. Gue sengaja nggak menawarinya masuk karena hanya perlu waktu lima menit untuk membuat Sheina turun.

Sheina bilang akan menginap semalam, tapi barang bawaannya sudah seperti akan pindah rumah. Dia membawa ransel hingga menyiapkan koper kecil hanya untuk menginap di apartemen gue.

"Ayo cepet, barang mana aja yang mau dibawa?"

"Itu koper kecil, satu ransel ini, sama totebag cemilan. Totebag biar aku aja yang bawa."

"Cemilan nggak usah dibawa kali, kamu kira di Jaksel nggak ada supermarket. Koper isinya apa? Kamu mau nginep, apa mau pindah sih, Na?"

"Ya, kan simulasi kalau nanti mau kuliah. Itu koper isinya baju lah. Aku perlu bawa selimut nggak? Kak Athaya punya selimut lebih nggak?"

"Nggak sekalian kamu bawa kasurnya?" Gue menanyakan itu dengan maksud menyindirnya, karena barang bawaannya sudah banyak. Namun dia malah menganggapnya serius.

"Di kamar tamu apartemen belum ada kasurnya memang?" Gue mendelik malas mendengar itu. Bisa-bisanya dia mempercayai ucapan gue.

"Ya, ada lah. Maksud Kakak kamu nggak usah bawa segala macam barang ke sana. Cukup bawa diri sama baju secukupnya doang."

"Berarti cuma koper itu doang. Itu udah batas cukup menurut aku." Gue curiga dia nggak akan menginap hanya satu malam. Akhirnya mau nggak mau gue tetap menarik koper itu.

Waktu gue dan Sheina keluar rumah, Papa terlihat sedang mengobrol dengan Shafira. Dia sampai turun dari mobil agar bisa berbicara lebih sopan dengan Papa. Mungkin Papa nggak sengaja melihat Shafira saat dia baru selesai mengurus tanaman-tanaman hiasnya. 

Sejak dulu gue kurang suka melihat Papa berbicara akrab pada Shafira. Bukannya cemburu sama orang tua sendiri. Kayaknya Papa orang yang paling banyak tahu soal aib-aib gue, termasuk salah satunya adalah aib menangis di tempat nasi uduk waktu itu. Jadi setiap kali melihat Papa berbicara dengan Shafira, gue khawatir Papa over sharing dan membongkar semuanya.

Soalnya Papa social butterfly-nya lebih parah dibandingkan gue. Di masjid saja, dia bisa menyapa semua orang dan mengenalkan gue pada siapapun. Dia bisa lagi liburan di Jepang terus jalan di Ginza, tiba-tiba disapa orang asing. Kenalannya sudah malang melintang hingga manca negara.

"Lagi ngomongin apa?" tanya gue. Seperti biasa, Sheina langsung antusias ketika mengetahui ada Shafira. 

"Papa kira kamu ngajakin Shafira nginep juga," katanya dengan gampang. Gue tahu dia hanya bercanda, tapi gue tetap aja cemas dengernya.

"Enggaklah!" jawab gue langsung mengelak terang-terangan.

"Ya, kan perkiraan Papa doang... Dulu kan Papa sering banget denger kabar begitu." Nah kan, apa gue bilang. Aib gue dibongkar sama bokap sendiri. Sheina malah tertawa mendengar Papa mengatakan itu. Dia adalah saksi kunci kedua yang tahu aib-aib gue, karena Papa sering menceritakannya.

"Nggak, Pah. Kak Athaya udah insaf. Mudah-mudahan nggak kumat lagi." Dia makin menjadi-jadi.

Udah lah, nggak ada yang bisa diharapkan dari keluarga gue.

___________

To be continued.

Hari ini nggak ada syarat apapun. Mau ramaikan komen silakan, mau enggak juga, ya.. harus. 🤣

Sampai ketemu besok malam. Makasih udah baca jazakumullah khairan. 🤍

Make the Quran as the main reading.

Make the Quran as the main reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang