Bagian 100

12.8K 2.8K 1.1K
                                    

HARI-HARI setelah resign gue nggak pernah alfa mengikuti kajian di salah satu masjid di Jakarta Selatan, bareng Abyan dan Vian. Walau kadang-kadang dua anak itu yang lebih sering alfa karena alasan pekerjaan. Sayangnya kajiannya cuma diadakan satu minggu sekali di hari Sabtu dan itu sangat-sangat nggak cukup buat gue.

Vibes kajian langsung sama streaming siaran ulangnya aja, atau dengerin Podcast-nya aja, rasanya beda. Streaming dan Podcast hanya satu arah, sementara kalau kajian langsung, gue bisa kenal banyak orang dan dapat insight-insight baru dari orang-orang yang gue temui, nggak cuma dari ustaznya aja. Dan ya, taat sendirian itu godaan buat futur—istilah yang baru-baru ini gue ketahui, yaitu sebutan untuk rasa malas atau enggan melakukan kebaikan—makin menggila dibandingkan saat punya banyak teman yang lagi sama-sama berusaha taat.

Ngomongin soal Vian, ada alasan tersendiri kenapa dia sibuk akhir-akhir ini. Gue kayaknya udah pernah cerita kalau semenjak memutuskan menjadi mualaf, segala hubungan keluarga dan fasilitas dari orang tuanya itu diputus. Dulu finansial sama sekali nggak pernah jadi masalah dalam hidupnya, sekarang tempat tinggal aja dia harus sewa.

Vian dikeluarkan dari tempat kerja yang dipimpin oleh papanya dengan cara yang sangat tidak nyaman. Diberikan tekanan mental berupa beban kerja yang banyak, diluar dari batas kemampuannya. Akhirnya dia sendiri yang memutuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri karena tidak sanggup kerja di sana. Dia harus mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kehidupannya sekarang.

Puncaknya, orang tuanya menghubungi seluruh kerabat dan rekan bisnisnya lalu mengatakan kalau Vian menelepon jangan diangkat, jangan dianggap, dan jangan direspons. Pada saat gue berencana resign, sebenarnya Vian orang pertama yang gue tawari untuk mengisi posisi plan director, tapi dia menolak dengan alasan dia nggak mau menggunakan koneksi gue untuk mendapatkan posisi tersebut dan dia nggak mau terlalu sibuk bekerja sampai kayak zombie macam gue dulu.

Sekarang dia sudah mendapatkan pekerjaan di disalah satu perusahaan start-up yang sedang mengembangkan aplikasi dan situs-situs elektronik komersial. Gue bener-bener melihat sisi yang berbeda dari Vian, dia menjadi orang yang sangat pekerja keras dan teguh pendirian.

Awal-awal kajian, gue mulai tahu nama ustaznya. Ya kali, kan, gue kajian nggak tahu nama ustaznya. Namanya Ustaz Harits Abu Yusuf, dari hasil mengobrol dengan orang lain, gue jadi tahu kalau Abu Yusuf itu bukan nama asli, tapi artinya ayah dari anak bernama Yusuf. Nama asli ustaznya, Ahmad Harits Fauzi.

Dia mengelola salah satu pesantren salaf dan pesantren tahfiz yang masih berada di daerah Bogor, dan sedang punya proyek pembangunan rumah literasi di kawasan Bogor juga. Namun hampir tiga bulan gue ikut kajiannya, gue nggak pernah di-notice ustaznya. Sumpah! Caper ke ustaz tuh lebih susah.

Akhirnya gue mulai menyusun beberapa strategi untuk membuat gue dikenal ustaz, dari mulai selalu duduk paling depan saat kajian—gue perlu datang lebih awal untuk mendapatkan ini—, mendonasikan hampir satu tahun tabungan gue untuk segera menyelesaikan pembangunan rumah literasinya, hingga menyusul kajian Ustaz Harits yang dilaksanakan di luar kota. Jadi seminggu itu gue bisa lima sampai enam hari kajian.

Apakah gue sudah di-notice ustaz setelah melakukan itu? Enggak, gue malah di-notice panitianya. Gue dikenali oleh Bang Hisyam, segala jadwal kajian juga gue ketahui lebih awal dari beliau.

Gue selalu mengajukan diri untuk bertanya di sesi tanya jawab tapi entah kenapa gue nggak pernah terpilih untuk mengajukan pertanyaan secara langsung. Karena biasanya kajian seperti itu pertanyaannya dibatasi hanya untuk tiga pertanyaan untuk ikhwan dan tiga pertanyaan untuk akhwat. Hingga suatu hari, kesempatan untuk bertanya itu akhirnya gue dapatkan.

Saat itu kajiannya berlangsung di Riau karena gue duduk di belakang, gue diminta untuk berdiri dan diberikan mic, sehingga meskipun gue mengajukan pertanyaan gue nggak tahu apakah ustaznya bisa melihat muka gue atau enggak. Namun gue nggak mau melewatkan kesempatan itu begitu saja, gue mengajukan dua pertanyaan sekaligus pada Ustaz Harits.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jazakallah Khairan sebelumnya Ustadz sudah berkenan memberikan saya kesempatan untuk bertanya. Perkenalkan, saya Athaya Khalil Adnan Adyatama, saya dari Jakarta Selatan." Serangan pertama untuk bisa di-notice ustaz, gue sengaja menyebutkan asal gue dari mana.

"Masyaallah. Antum jauh-jauh dari Jakarta Selatan datang ke sini, atau memang sedang ada pekerjaan di Riau dan ikut kajian?"

"Enggak, Ustad. Saya sengaja terbang setelah Subuh untuk bisa mengikuti kajian ustad ba'da zuhur di sini. Ada dua hal yang ingin saya tanyakan dan ini cukup mengganggu saya dari lama."

"Pertanyaan yang pertama. Apabila kita mencintai seorang wanita, tapi kemudian wanita itu belum menerima kita. Apakah perlu diperjuangkan?" Hadirin tertawa kecil. Pertanyaan soal jodoh dan pernikahan selalu menarik banyak perhatian. Gue menunggu tawa itu mereda untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya.

"Dan pertanyaan saya yang kedua. Ustaz tadi menyampaikan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan itu tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya tapi kepada ibunya, sehingga segala hukum waris, hukum perwalian, dan hukum mahram pada ayahnya pun itu terputus."

"Apabila ada seorang anak laki-laki yang lahir dari hubungan di luar pernikahan dan dia memiliki adik perempuan satu ayah, tapi berbeda ibu. Apakah anak laki-laki tersebut mahram untuk adik perempuannya itu, atau bagaimana? Terima kasih, Ustadz. Barakallahu fiik.

────୨ৎ────

To be continued.

Butuh 1K komentar dari masing-masing part, untuk mengetahui jawaban ustaznya besok malam. 🤣 Mari ramaikan 🌹🌹

Make the Qur'an as your main reading.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang