Extra Chapter 2B

15.3K 3.3K 2.2K
                                    

GUE inget banget Ustaz Harits pernah bilang kalau kita bisa melihat karakter orang lain melalui dua konsisi. Saat berkaitan dengan uang, dan saat safar. Sebab dalam dua kondisi itu tabiat asli seseorang akan terlihat. Saat safar dalam konsisi lelah, orang kadang jadi egois, sifat nggak sabaran dan lepas tanggung jawabnya kelihatan, bahkan keluh kesah dan amarahnya juga muncul ke permukaan. Gue sangat bersyukur karena semua sifat buruk itu sama sekali nggak ada di Shafira.

Kalau dipikir-pikir, rezeki terbesar yang gue dapat selama hidup selain lahir dari sosok Ibu yang luar biasa, adalah menikah dengan Shafira. Dia istri siaga yang sama sekali nggak mengeluh meski harus menggantikan gue menyetir untuk bisa sampai ke Jakarta.

Awalnya gue agak pesimis dengan skill mengemudinya. Apalagi mengemudi di jalan tol perlu menggunakan kecepatan-kecepatan tertentu. Namun lambat laun, setelah memperhatikannya menyetir beberapa saat, ternyata Shafira  cukup handal membawa mobil ke jalan tol.

Dari dulu gue suka sekali dengan perempuan yang independen, berpendidikan tinggi baik urusan dunia maupun akhirat, dan bisa melakukan banyak hal. Anak jaman sekarang menyebutnya sebagai alpha female, perempuan yang ambisius, mandiri, punya jiwa kepemimpinan, selalu mau belajar, nggak takut sendirian, seluruh sorotan tertuju padanya.

Kata orang, perempuan seperti ini tidak layak dijadikan istri, karena mereka akan susah diatur dan susah untuk taat sama suami. Mereka akan banyak mendebat akan segala hal yang tidak sejalan dengan mereka. Ya, mereka akan mempertanyakan banyak hal karena mereka berpikir. Pertanyaan itu muncul karena mereka selalu mau belajar.

Mungkin karena dari kecil gue tumbuh dan melihat sosok Ibu sebagai perempuan yang sama-sama alpha female dan bisa melakukan segalanya sendirian, sampai dewasa kriteria perempuan yang menjadi idaman gue nggak jauh beda. Melihat Shafira menyetir saja, meskipun gue dalam kondisi lemas dan pusing, dalam hati gue ingin berteriak; Ya Allah, istri gue keren banget.

Tentu gue nggak tidur begitu saja dan membiarkannya menyetir sendiri. Sebisa mungkin gue tetap terjaga. Gue yakin dia sama lelahnya dengan gue, tapi gue khawatir dia mengantuk kalau gue terlelap. Untuk mengusir keheningan, gue menyetel playlist kajian dari handphone yang terhubung ke wireless di dashboard mobil.

Sesekali tangan kirinya terulur menyentuh kening untuk memastikan ulang suhu tubuh gue. Ada pandangan khawatir dari wajahnya meski dia nggak mengatakannya. Gue teringat di mobil ada paspor dan tiket penerbangan dari Papa sebagai hadiah pernikahan kami.

"Di sini ada hadiah pernikahan dari Papa buat kita." Gue membuka salah satu lacinya dan mengeluarkan dua paspor dari sana. Gue sudah meminta paspor Shafira dari sebelum menikah pada Hazm, sekalian ketika meminta berkas-berkas untuk mengurus pernikahan ke KUA.

"Apa itu?" tanyanya dengan tetap fokus menyetir.

"Tiket penerbangan Jakarta-Jeddah. Kita bisa ibadah, jalan-jalan, sekaligus jenguk Sheina di sana."

"Oh, ya? Alhamdulillah, nanti aku telepon Papa untuk bilang makasih atas hadiahnya." Dia nggak antusias sama sekali. Ekspresinya benar-benar datar, padahal itu kejutan yang gue siapkan sejak beberapa hari lalu.

"Nggak senang sama hadiahnya, ya? Kok kamu kayaknya nggak antusias sih?" tanya gue sambil kembali memasukan paspor itu ke tempatnya.

"Gimana aku bisa antusias saat kamu lagi demam kayak gini. Aku senang kok, seneng banget malah." Gue lupa kalau dia memang minim ekspresi, terlebih timing-nya memang kurang tepat.

Ngomong-ngomong soal mendapatkan tiket penerbangan dengan destinasi Arab Saudi dan beberapa negara disekitarnya, ceritanya agak konyol. Gue jadi teringat pembicaraan dengan Papa sekitar tiga hari lalu. Rumah gue masih 97%, belum di cat, baru hari ini akan mulai di cat dan finishing yang lain. Tentu nggak mungkin bisa langsung di isi.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang