SEENGGAKNYA sekali aja, atau sedetik aja, dia pasti pernah punya ketertarikan ke gue. Masa iya nggak pernah tertarik sama sekali. Ditambah menurut abangnya waktu itu, Shafira nggak mengizinkan laki-laki lain untuk menemui orang tuanya, tapi giliran gue yang minta izin menemui Pak Adam, dia langsung mengizinkannya.
"Terus kenapa kamu menerima lamaran aku, kalau kamu nggak memiliki ketertarikan, atau atensi apapun ke aku?"
"Kayak... nggak ada pilihan lain aja gitu." Dia tertawa kecil, seolah sengaja mengatakannya untuk membuat gue harap-harap cemas.
"Sesekali nggak apa-apa loh, Ra... Berbohong buat menyenangkan hati suami."
"Yang ada suami berbohong buat menyenangkan hati istri," jawabnya.
Gue merasa sedikit nggak terima ketika Shafira dengan entengnya mengatakan nggak pernah memiliki ketertarikan apapun ke gue. Memang, rasa cinta bisa dipupuk setelah pernikahan, tapi kan harus ada bibitnya dulu. Mau dipupuk sebanyak apapun, kalau bibitnya nggak ada, apa yang mau tumbuh. Gue mendadak diam setelah itu.
"Kamu orang baik. Saking baiknya aku memilih resign dari Nata Adyatama..." lanjutnya tiba-tiba.
"Maksudnya?"
"Aku pernah kagum sama kamu, karena kamu orang baik."
"Aku nggak mau kekaguman itu berevolusi jadi perasaan lain yang pada akhirnya memunculkan kekecewaan yang sama. Makanya aku memilih resign. Itu bertepatan dengan Bang Hazm yang dapat pekerjaan di Bandung dan Ayah mengajak untuk pindah." Gue tersenyum mendengar itu. Harusnya dia mengatakan itu dari tadi, bikin orang banyak pikiran aja.
"Tapi jujur deh... waktu kita ketemu lagi di pernikahannya Kinan sama Abyan. Kamu terpesona kan pas lihat aku? Aku yakin banget kamu tertarik sama aku saat itu."
"Iya, tertarik, tapi bukan untuk dijadikan suami."
"Terus tertarik sebagai apa?" Lagi-lagi gue menoleh ke arahnya. Dia suka banget bikin jungkir balik hati orang.
"Untuk model katalog produk baru Shaf Labels. Selama ini kan Shaf Labels banyaknya produk pakaian untuk perempuan. Baru-baru ini mau launching produk baju buat laki-laki juga. Apalagi waktu kita antre, dan kamu minta buat tukeran tempat."
"Waktu lihat punggung kamu pake batik dari belakang, aku kepikiran... wah, ini orang badannya proporsional ya, cocok jadi model, kira-kira butuh budget berapa kalau mau dijadiin model Shaf Labels, kira-kira mau diajak kerja sama nggak ya. Aku kepikiran semua itu..." Bisa-bisanya dia malah memikirkan bisnisnya, padahal saat itu pikiran gue udah kemana-mana karena berniat meminta izin bertemu orang tuanya.
"Jahat banget sih, Ra... aku udah tremor nggak karuan saat itu. Kamu malah mikirin bisnis." Dia malah tertawa.
"Tapi itu jawaban jujur. Aku nggak tahu kalau kamu lagi kepikiran ngajak nikah."
"Terus kenapa Hazm bilang kalau kamu menolak dikenalkan dengan laki-laki dan melarangnya datang ke rumah buat ketemu Ayah, sementara aku diperbolehkan? Itu kan jadi satu indikasi, kalau kamu punya ketertarikan lebih ke aku."
"Ta'aruf sama orang baru itu, perlu waktu lebih lama lagi. Harus kenal keluarganya dulu, harus tahu tabiatnya kayak gimana, harus tahu gimana karakternya ketika marah. Belum lagi menyamakan persepsi tentang visi-misi pernikahan."
"Sedangkan sama kamu, aku udah tahu keluarga kamu, bahkan masa lalu kamu. Aku tahu sikap dan keseharian kamu. Sku tahu gimana hubungan kamu dengan orang tuamu. Aku tahu cara kamu memanage konflik dan menyelesaikan masalah, bahkan aku tahu gimana ketika kamu marah. Aku nggak butuh waktu lama untuk mengenal kamu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...