KARENA bertemu dengan Shafira hampir setiap hari, gue kira dengan tidak bertemu Shafira akan membuat gue berhenti memikirkannya. Namun ternyata meskipun raga gue berada di Osaka, tetap saja nggak berhasil membuat gue berhenti memikirkan Shafira. Padahal mungkin Shafira tengah berada di kondisi paling bahagia, merencanakan pernikahan impiannya dengan pria yang juga diimpikan. Memikirkannya saja membuat gue kesal.
Setelah menghabiskan sekitar 40.000 Yen di salah satu restoran sushi bernama Jinsei, gue kembali ke hotel. Sebelum itu gue sempat mampir ke sebuah tempat semacam supermarket untuk membeli beberapa kaleng Suntory the Premium Malts. Bir dengan gaya pilsner ini hanya gue pandangi hampir setengah jam lamanya. Gue masih dilema untuk meminumnya atau enggak.
Seperti yang sudah gue katakan bahwa gue mulai merasa aneh dengan diri gue sendiri. Mulai tidak menyukai perempuan berpakaian pendek meski sepanjang perjalanan menuju hotel beberapa kali gue terpaksa harus melihatnya. Mulai merasa tidak ingin minum sesuatu yang memabukkan, namun di sisi lain kebiasaan gue dahulu ketika ingin melupakan sesuatu, gue akan minum sampai membuat diri gue mabuk dan nggak ingat apapun.
Padahal kaleng-kaleng Suntory the premium Malts ini tidak mungkin bisa membuat gue mabuk mengingat toleransi tubuh gue terhadap kadar alkoholnya. Akhirnya gue hanya duduk dan memandang kaleng-kaleng bir itu sambil menikmati langit Osaka yang terlihat indah dengan lampu-lampu tanpa menyentuhnya sedikit pun.
Gue mulai menikmati pemandangan malam itu, berharap gue nggak harus balik lagi ke Indonesia dalam waktu dekat. Perasaan menyesal mulai mengisi pikiran gue karena saat sebelum berangkat ke Osaka, gue mengatakan kepada Pak Jo bahwa gue akan mempersingkat perjalanan bisnis ini menjadi enam hari. Gue ingin berada di momen terbaiknya Vian, meskipun hari tersebut tetap tidak bisa gue hadiri karena malam ini saja gue masih berada di Osaka.
Pada akhirnya gue tertidur pulas dengan pemandangan malam Osaka dari jendela kamar hotel yang lupa gue tutup. Namun tidur nyenyak tidak menjamin keesokan harinya gue akan terbangun dengan kondisi baik-baik saja. Gue lupa mengisi daya dan lagi-lagi gue terbangun dengan kondisi ponsel yang mati. Ketika benda itu menyala, gue mendapat puluhan panggilan masuk dari Shafira dan beberapa pesan yang membuat gue seketika langsung menghubunginya.
Mungkin untuk membuat gue tidak khawatir, dia sengaja hanya mengirim pesan bahwa gue harus langsung menghubunginya setelah membaca pesan itu. Awalnya gue kira kecemasannya berkenaan dengan pekerjaan yang nggak bisa di handle sendiri. Namun ketika berbicara dengannya ternyata kabarnya lebih buruk dari itu.
"Halo. Ada apa, Ra? Sorry banget semalam panggilannya nggak keangkat. Saya ketiduran."
"Sheina mengalami kecelakaan semalam. Dia menyetir sendirian dan mobilnya menabrak portal jalan. Sekarang dia berada di rumah sakit Bakti Kencana II setelah menjalani operasi karena mengalami pendarahan dalam."
Gue terdiam sebentar mendengar itu, mencoba mencerna kalimatnya dengan baik karena kesadaran gue belum sepenuhnya terkumpul. Akhir-akhir ini gue mulai kembali lost contact dengan sheina. Selain karena Sheina benar-benar tidak lagi datang ke kantor dan tidak menghubungi gue lagi. Diri gue sendiri nggak punya keinginan lebih untuk memperbaiki hubungan kakak beradik ini.
"Sudah mencoba menghubungi ayahnya?"
"Don't you wanna say something? Aren't you worried about her?" tanyanya, terdengar agak kesal karena gue bukannya mencemaskan kondisi Sheina saat ini, tapi malah memintanya menghubungi Pak Andreas. Gue belum meresponnya lagi. Kita hanya saling mendengar suara nafas masing-masing dari sebrang telepon.
"Bukankah kamu menghubungi saya tandanya kondisi Sheina udah baik-baik aja?"
"Ya, alhamdulillah operasinya berjalan lancar dan masa kritisnya udah lewat. Dua jam lalu Sheina juga udah dipindahkan ke ruang rawat inap, tapi sampai sekarang dia belum sadar. Kata dokter efek obat biusnya akan hilang setelah lima sampai enam jam." Mungkin Shafira sengaja menjelaskannya tanpa gue minta karena dia tahu sebenarnya gue sangat ingin mengetahui kondisi Sheina saat ini.
"Saya juga udah coba menghubungi ayahnya Sheina tapi beliau nggak bisa dihubungi. Saya mengabari Bu Indah dan Bu Ilyana. Bu Indah baru akan datang siang ini, dan Bu Ilyana bilang masih di Lombok. Apa Anda... nggak bisa segera kembali ke sini? Saya rasa..." ucapannya terjeda, dia ragu untuk mengatakannya.
"Saya rasa Anda orang yang paling dekat dengan Sheina," sambungnya lirih. Gue masih diam. Shafira sama sekali nggak tahu apapun soal hidup gue, gue bukan orang yang sebaik ekspektasinya. Dia nggak bisa menyamakan gue dengan sosok kakak laki-laki dalam hidupnya.
"Makasih udah mau jagain Sheina, but stop trying to save everyone else. Saya mulai nggak suka kamu merubah saya terlalu banyak." Setelah itu panggilan tersebut gue akhiri.
Gue kembali merebahkan punggung ke atas tempat tidur. Tenggelam dalam pikiran sendiri setelah apa yang gue ucapkan barusan. Pekerjaan di Osaka masih membutuhkan waktu dua hari lagi. Gue baru bisa kembali dari sini besok lusa.
Lagi pula Sheina akan baik-baik saja dan kepulangan gue juga nggak akan berpengaruh apapun terhadap hidupnya. Namun gue terdistraksi dengan penjelasan Shafira yang mengatakan bahwa Sheina masih belum sadar setelah menjalani operasi semalam. Kalau pihak rumah sakit sampai menghubungi Shafira dibanding walinya sendiri, itu tandanya Pak Andreas juga berkemungkinan besar sedang berada di luar negeri juga.
Bisa saja gue menghubunginya saat ini untuk menanyakan keberadaannya dan memintanya datang lebih dulu untuk menemui Sheina jika memang ternyata lokasinya lebih dekat. Namun gue masih enggan untuk menghubungi bokap lebih dulu dan ini bukan tentang kondisi Sheina saja.
Meskipun Sheina akan baik-baik saja di sana. Apakah gue dengan pikiran dan rasa cemas ini akan tetap baik-baik saja di tempat ini? Jelas jawabannya enggak, dan itu akan sangat menghambat terhadap kerjaan gue.
Masalah terbesar gue sebenarnya adalah gue nggak pernah bisa membicarakan apapun ketika gue butuh telinga. Gue hanya diam dan menjauhkan diri sampai gue marasa baik-baik aja.
Kontan gue mengecek penerbangan tercepat dari Jepang ke Indonesia yang bisa gue tempuh. Masa bodoh dengan pekerjaan di Osaka toh Pak Jo akan mengerti kalau mengetahui gue pulang karena kondisi Sheina. Tentu saja sebelum itu gue menghubungi PA dari perwakilan perusahaan yang tengah bersinergi dengan Nata Adyatama. Gue juga mengirimkan email formal dan menjelaskan kondisi dan alasan kenapa gue harus pulang.
Untuk kali ini saja, gue nggak mau menjauhkan diri untuk membuat gue merasa baik-baik aja. Gue tahu, hanya dengan kembali ke Indonesia saat ini juga, melihat kondisi Sheina langsung dengan mata kepala gue sendiri, yang akan membuat gue merasa baik-baik aja.
__________
To be continued.
Cek feed ig @amimomile deh. Aku posting chat mereka setelah kejadian ini. 😌
Make the Qur'an as the main reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
EspiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...