Bagian 49

11.7K 2.7K 1.3K
                                    

MUNGKIN Abyan benar, dalam hati gue masih ada iman, meski iman itu lebih tipis dari selembar kertas. Faktanya, gue tidak bisa menahan diri untuk tidak membuat diri gue mabuk saat sedang ada masalah. Gue selalu memilih cara-cara instan untuk bisa cepat melupakan. Karena hari itu masih sore dan belum ada kelab buka, mau tidak mau gue mampir di salah satu restoran yang memiliki bar. Minum sendirian di tempat seperti ini ternyata malah membuat diri gue makin menyedihkan.

"Boleh saya duduk di sini?" Tiba-tiba Shafira muncul dan berdiri di hadapan gue, seolah sebuah imaji yang memang tengah gue harapkan saat itu.

"Kamu sengaja mengikuti saya?" tanya gue.

"Selain saya nggak dibayar untuk berbohong, saya juga nggak dibayar untuk mengikuti Anda." Shafira selalu saja beralasan seperti itu. Kalau pun ada bayarannya, gue yakin dia tetap tidak mau melakukannya. Itu seperti kalimat lain untuk mengatakan bahwa dia tidak bersedia menerima bayaran untuk hal-hal yang dilarang dalam agama.

Gue mempersilakannya untuk duduk, kalau dia tidak keberatan dengan hal tersebut. Hal pertama yang dia lakukan adalah menjelaskan alasannya ada di tempat ini, sebelum gue minta.

"Kakak saya pesan zuppa soup sebelum pulang, dan karena tempat yang paling dekat adalah restoran ini, akhirnya saya datang ke sini."

"Bukannya nggak boleh membeli makanan di tempat yang menyediakan minuman?" tanya gue. Gue yakin Shafira mengerti "minuman" yang gue maksud adalah minuman haram. Gue sengaja berhenti meneguk minuman itu di depan Shafira untuk menjaga kesadaran gue.

"Ya, benar. Tapi Anda tahu kepanjangan dari restoran Mossery ini?" Gue mengangkat bahu tanda gue sama sekali nggak tahu soal itu.

"Mossery by Eilaria & Haura. Dulu, restoran ini milik seorang nonmuslim, namanya Eilaria. Saat bisnisnya kurang stabil, ia harus menjual asetnya. Namun, dia enggan menjual keseluruhan restoran yang ia bangun ini. Akhirnya, ia menjual 2/3 bangunan ini kepada seorang perempuan muslim bernama Haura. Karena nggak mungkin ada dua nama rumah makan dalam satu bangunan, akhirnya mereka sepakat untuk menamai restoran ini dengan Mossery by Eilaria & Haura."

"So, ownership of this restaurant adalah dua orang yang berbeda?"

"Exactly. Bisa dikatakan saya membeli makanan di tempat milik Haura. Itulah kenapa mereka bisa mendapat sertifikat halal MUI untuk makanannya. Bukan hanya bahan baku, proses pengolahan produk dari mulai pembelian, penerimaan, penyimpanan produk jadi, dan distribusi—semuanya ditinjau."

"Ah, saya paham. Kamu pelanggan Haura, dan saya pelanggan Eilaria."

"Bisa dikatakan seperti itu. Haura menjual makanan Italia versi halal dan Eilaria menjual segala jenis minuman Italia. Lambrusco seharga 680.000 itu jelas dijual di bar milik Eilaria." Shafira bahkan mengingat jenis sparkling wine dan harga dari minuman yang gue pesan. Mungkin dia tidak sengaja melihatnya di buku menu. Padahal wine saja tidak akan mampu membuat gue mabuk.

Gue hanya menghela napas dan menuangkan cairan berwarna rose tersebut ke dalam wine glass. Harusnya gue memesan wine by bottle untuk dibawa pulang.

"Lambrusco... Sorry for this. Saya nggak niat minum di depan kamu. As you said before, kamu yang secara kebetulan tiba-tiba ada di tempat ini." Setelah mengatakan itu, gue meneguk Lambrusco itu.

"Merasa lebih baik?" tanyanya terasa tidak menghakimi, juga tidak ada ekspresi. Dia benar-benar mengatakan itu seolah hanya ingin tahu apakah Lambrusco itu sungguh bisa membuat gue merasa lebih baik. Gue meletakkan kembali gelas itu ke meja serta menetralkan rasa sepat yang sempat memenuhi lidah.

"Not both. Perasaan senang enggak, perasaan tenang juga enggak. Yang ada malah kerasa melankolis. Saya pernah dengar sebuah penjelasan waktu khotbah Jumat kalau yang bikin hidup manusia nggak tenang itu adalah karena dia masih melakukan salat dan maksiat secara bersamaan."

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang