Bagian 5

17.1K 2.7K 385
                                    

TERAKHIR kali gue makan di foodcourt kantor kayaknya tahun lalu, gue kebanyakan makan di luar kantor karena meeting yang biasanya mepet sama jam makan siang, punya janji, atau bahkan gue banyak melewatkan jam makan siang kalo lagi sibuk-sibuknya. Satu lantai dengan gaya industrial yang menyuguhkan pemandangan Jakarta dari ketinggian ini memang dikhususkan untuk  foodcourt, khusus buat makan, ada soto betawi Bu Fatma andalannya. Sisanya banyak menu lain kayak bakso, atau nasi goreng yang bisa dipesan yang nggak kalah enak juga. Meski begitu, tiap lantai ada pantri yang juga khusus buat ngemil-ngemil ringan atau sekadar bikin kopi.

Bokap sangat-sangat mendahulukan fasilitas dan kenyamanan karyawan, tebakan gue sih gitu. Pernah ada regulasi mengikuti perusahaan-perusahaan Cina di mana waktu istirahatnya satu jam setengah. Setengah jam untuk makan, satu jamnya lagi waktu tidur siang, tapi berubah lagi karena kurang efektif diterapkan di Nata Adyatama.

"Pagi, Pak Abdul," sapa gue waktu melihat pramukantor khusus lantai dua puluh yang lagi membersihkan kaca lift. Gue sering banget ketemu orang ini karena kalo Mbak Indah nggak ada, dia yang bikin kopi.

"Udah siang ini, Pak Atha," gue nyengir waktu menyadari cahaya udah seterang itu untuk dikatakan pagi, kan emang gue mau pergi makan siang. Jadi curiga efek alkoholnya belum ilang, linglung begini.

"Eh, iya udah siang. Siang Pak Abdul." Gue mengulang sapaan, membuat lelaki paruh baya itu membalas sapaan gue sambil sedikit tertawa tanpa berhenti mengerjakan kegiatannya.

"Mending istirahat dulu aja, Pak. Percuma di bersihkan  sekarang, entar malah kotor lagi. Jam istirahat banyak yang pake lift," komentar gue.

"Udah tadi, Pak. Jam istirahat saya jam sebelas."

"Kok jam sebelas?" tanya gue heran.

"Pramukantor kerjanya dua shift. Dari jam tujuh pagi sampai jam tiga sore, sama ada yang dari jam dua siang sampai sepuluh malam, bisa lebih malam kalau ada yang lembur, Pak." Gue mengangguk-angguk karena baru tahu soal itu.

"Bukannya biasanya Bapak bagian sore?"

"Iya, saya tukeran shift biar bisa pulang siang. Ada keluarga yang datang dari kampung halaman." Gue akhirnya berpamitan setelah lift berhenti di lantai yang gue tuju.

Mbak Indah sudah lebih dulu pergi ke foodcourt tadi dan memesankan dua porsi soto betawi waktu gue datang, dia memang nggak suka jalan bareng gue karena bakalan lama katanya, gue banyak ketahan karena dikit-dikit ngobrol atau nyapa orang yang gue temui. Kayak Pak Abdul tadi. Mana mungkin gue lewat lurus-lurus aja, kalau gue tahu orangnya.

Beruntung Mbak Indah mengerti karena dia sudah memesankan beserta dengan kerupuk emping yang mengingatkan gue akan soto betawinya H. Ma'ruf di Matraman, tapi karena antriannya banyak kita perlu nunggu dulu buat disiapkan. Heran gue, kenapa antriannya bisa sampai sebanyak itu.

"Nggak mau pesan yang lain gitu, Mbak? Sambil nuggu soto betawi, kayaknya bakalan lama datengnya." Seporsi soto betawi nggak cukup untuk membungkam lambung gue, perlu di tambah menu lain untuk membuat gue kenyang sampai sore dan gue tertarik dengan sate. Gue tipe yang nggak jaga makan dan nggak pilih-pilih makanan, karena gue imbangi dengan olahraga di weekend, juga banyak makan buah-buahan.

"Lo aja pesan sana, gue takut nggak abis." Gue akhirnya bangkit menuju tempat jual sate kambing yang juga jual tengkleng. Kalau soto betawi nggak berkuah, kayaknya gue bakalan pesan tengkleng juga buat makan siang kali ini. Ada seseorang yang masih menulis pesanannya saat itu, membuat gue perlu menunggu untuk memesan. Pandangan gue beralih pada tempat jual jus yang lokasinya bersebelahan. Gue tertarik memperhatikan orang yang lagi ngobrol.

"Wah, keren banget. Alhamdulillah, anaknya keterima ya, Pak. Jadi nggak perlu jauh-jauh dari Jakarta deh, bisa PP kuliahnya." Gue nggak sengaja mendengar obrolan orang yang lagi pesan jus dengan pegawainya.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang