PERCAKAPAN kami masih sering berakhir singkat. Selain karena dulu gue dan Shafira lebih sering membicarakan soal pekerjaan. Dia perlu waktu untuk menyesuaikan diri dan terbiasa dengan hal tersebut. Apalagi dua tahun kami sama sekali nggak pernah bertemu atau berkomunikasi. Gue berpikir keras untuk membangun pembicaraan dengannya, pembicaraan yang lebih panjang dan dalam. Gue teringat pada Sheina. Mereka pasti udah lama banget nggak saling bertegur sapa.
"Mau menelepon Sheina?" tawar gue.
"Nggak akan ganggu emang?" Gue mengecek jam terlebih dahulu. Sepertinya di jam-jam ini Sheina masih istirahat salat Zuhur. Lagipula di sana liburnya hari Jum'at, dia lagi nggak ada jadwal kuliah hari ini.
"Kita coba telepon dulu ya, semoga diangkat." Gue mencoba menghubunginya. Panggilan itu berdering beberapa kali, hingga setelah panggilan ke dua, wajahnya nampak muncul di layar. Gue mencoba menyandarkan ponsel itu pada barang apapun yang ada di meja agar bisa tegap tanpa di pegang.
"Kak Shafiraaaa... Assalamu'alaikum." Suaranya langsung menggema ketika dia melihat Shafira dari layarnya.
Mendengar Sheina sehisteris itu, Shafira mendadak menggeser duduknya lebih dekat agar kami berdua bisa terlihat jelas dalam satu layar. Entah Shafira menyadarinya atau tidak, tapi kami belum pernah duduk dengan jarak sedekat ini.
"Wa'alaikumussalam. Apa kabar, Na?"
"Alhamdulillah, baik. Masyaallah, Kak... Barakallah ya. Kak Shafira akhirnya resmi juga jadi kakak ipar aku. Doa aku selama ini akhirnya terkabul juga. Ah, jadi ingin pulang gini, kan. Ingin ke sana juga, ikut barbeque-an."
"Nanti juga ada waktunya pulang... Kita semua lagi seneng di sini. Masa kamu malah sedih di sana. Lagian kamu udah sering banget makan daging kambing. Susu kambing juga banyak di Madinah."
"Yeeee... beda! Bukan soal dagingnya, ini soal momennya," gerutunya.
"Nanti kalau kamu liburan semesteran dan pulang ke Jakarta, Kakak traktir barbeque di tempat mana pun yang kamu mau," respons Shafira membuat anak itu makin girang. Padahal gue sudah menyiapkan tiket untuk jalan-jalan sekaligus mengunjungi Sheina di sana, tapi gue belum mengatakannya pada Shafira. Belum menemukan waktu yang tepat.
"Asik... serius, ya, Kak Shaf? Aku seneng banget waktu tahu Kak Athaya beneran melamar Kak Shafira. Kalian itu udah cocok banget di pikiran aku. Kayaknya aku nggak bakalan ngasih restu kalau Kak Athaya sampai nikah dengan perempuan lain." Shafira tertawa kecil. Padahal sepertinya dia yang lebih cocok dengan Shafira dari dulu.
"Over banget kamu..." komentar gue. Shafira dan Sheina membicarakan banyak hal, seolah waktu selama dua tahun tak menciptakan jarak di antara mereka. Sheina menceritakan bagaimana dari awal dia kuliah di LIPIA, mengambil program pertukaran pelajar, hingga mantap untuk melanjutkan kuliah di sana.
"Apa yang dilakukan Kak Shaf selama dua tahun ini? Setelah resign dari Nata Adyatama?"
"Hmmm... karena Kakak baru sempat D3, setelah resign langsung lanjut kuliah lagi. Baru yudisium bulan lalu. Wisudanya masih tiga bulan lagi. Selain kuliah, selama dua tahun ini Kakak cuma sibuk rintis bisnis."
"Ah, Shaf Labels, ya? Mungkin Kak Shaf nggak tahu, tapi aku salah satu pelanggan Shaf Labels kalau lagi ada launching gamis atau abaya baru. Aku punya hampir seluruh koleksinya. Apalagi setelah tahu Shaf Labels bisa shipping worldwide."
"Oh, ya? Kenapa nggak bilang dari dulu. Padahal Kakak bisa kirim ke sana buat kamu, atau kamu bisa keep duluan biar nggak kehabisan stok."
"Orang di samping Kak Shaf bakalan ngamuk kalau aku minta gratisan. Katanya nggak boleh minta yang gratis... Aku cuma berharap Kak Shaf bisa restok lebih banyak. Biar aku kebagian. Soalnya tiap PO tuh suka nggak kebagian, apalagi perbedaan waktu Riyadh-Indonesia kadang bikin aku lupa jam-jam PO-nya.."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...