ENTAH sejak kapan, meeting terasa menjadi medan perang. Gue sama sekali nggak menghindar dari Daffin, tapi justru dia yang sepertinya belum siap ketemu gue. Padahal divisi perencanaan yang gue pegang, nggak mungkin terlepas dari divisi kontruksi dan arsitektur. Ya, hari itu gue ada meeting dengan Daffin. Meeting yang terus dia undur dengan alasan sibuk padahal seharusnya dilakukan dari dua minggu yang lalu.
Daffin sama sekali nggak profesional. Meeting ya meeting, Nalea ya Nalea. Hubungan mereka nggak ada sangkut pautnya dengan mengabaikan follow up dari gue dan menghambat ke kerjaan lain. Padahal Nalea udah balik lagi ke Cambridge. Karena Daffin nggak kunjung merespon, gue putuskan mendatanginya di building B.
Gue datang biasa aja, dengan tujuan pekerjaan, tapi orang-orang yang melihat kemunculan gue di building B seolah melihat gue akan melabrak Daffin. Gue mengetuk ruangannya dua kali sebelum masuk. "Orang-orang di divisi lo pada kenapa sih? Gue jalan doang berasa catwalk, dilihatin mulu dari ujung kepala sampai ujung kaki."
"Ngapain lo ke sini?" tanyanya heran.
"Meeting lah." Saat itu gue memang meeting sendiri. Shafira masih ada kerjaan di building A, gue enggan mengajaknya meeting ke divisi yang hampir keseluruhannya cowok semua.
"Kan di-reschedule hari Jumat, Tha. Sekretaris gue kayaknya udah konfirmasi soal itu ke Shafira." Daffin nggak terima dengan kedatangan gue yang tiba-tiba.
"Bodo ah, gue pengen meeting sekarang. Kerjaan gue jadi numpuk gara-gara lo reschedule terus." Gue menarik salah satu kursi tamu untuk lebih dekat dengannya. Gue bisa tahu divisinya lagi sibuk atau enggak, soalnya kerjaan mereka juga tergantung ke kerjaan gue. Kalau proyek yang direncanakan banyak, proyek yang mereka garap juga banyak.
Mau nggak mau, Daffin mengiyakan permintaan meeting dadakan itu karena gue udah ada di tempat. Pertemuan tersebut bahkan nggak nyampe setengah jam. Tadi gue datang jam 11.30, dan dua puluh lima menit kemudian meeting-nya selesai.
Gue sama sekali nggak membahas soal Nalea, namun ketika gue hendak beranjak pergi, Daffin lebih dulu membicarakannya. "Tha, ada yang mau gue tanyakan soal Nalea." Mendengar itu, gue berdiri di ambang pintu.
"Waktu di Bali, kenapa lo tiba-tiba telepon gue. Maksud gue, lo juga punya kontak teman-teman ceweknya Nalea. Lo bisa aja menelepon salah satu dari mereka."
"Mau jawaban jujur?" tanya gue.
"Ya, menurut lo?" Dia malah emosi. Gue tertawa tipis mendengar responnya.
"Gue udah tahu lo cinta banget sama Nalea, dan gue tahu Nalea ragu sama perasaanya sendiri. Bisa dibilang, tiga perempat perasaanya masih buat gue, satu perempatnya mulai goyah karena keseriusan lo."
"Jadi berterima kasihlah ke gue, karena sebenarnya gue yang punya andil besar di hubungan kalian. By the way, congrats on your engagement. Gue wajib menjadi orang pertama yang mendapat undangan, kalau kalian nanti jadi menikah." Gue udah mau beneran cabut dari tempat itu, tapi ternyata masih ada hal yang ingin dibicarakan Daffin.
"Soal Shafira..." katanya lagi-lagi menahan gue. Nalea mungkin menejelaskan alasan kenapa ia begitu jengkel ke gue selama di Bali, dan alasannya berkaitan dengan Shafira.
"Gue sama Shafira beneran nggak ada hubungan apa-apa."
"Siapa juga yang nanyain hubungan lo sama Shafira. Beberapa hari lalu, gue denger dia itu tunangannya Rafif Alfarazel dari Astra Land dan akan menikah dalam waktu dekat, tapi pagi ini gue dengar pernikahan mereka batal. Ini yang mana yang benar sih?"
Sepertinya gue akan mempercayai rumor yang mengatakan bahwa setebal apapun dinding Nata Adyatama, ruangannya tetap tidak kedap suara. Bisa-bisanya Daffin tahu informasi soal Shafira yang batal nikah, padahal gue sendiri yang pimpinannya baru dengar barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...