Bagian 72

13.6K 2.8K 847
                                    

ENTAH karena gue bekerja cukup lama di bagian perencanaan, bertemu dengan banyak klien, membaca banyak karakter,  memperkirakan banyak hal, membuat tebakan gue jarang ada yang meleset. Mungkin kemampuan tersebut secara nggak langsung gue gunakan untuk memperkirakan apa yang Shafira pikirkan dan butuhkan.

Benar saja, Shafira kerepotan memegang empat botol dingin itu sekaligus. Spontan gue langsung mengambil alih dua botol darinya tanpa menyentuhnya. Dia terlihat agak kaget dengan kehadiran gue yang tiba-tiba.

"Terima kasih," katanya pelan.

"Kembali... kasih," jawab gue dengan jeda agak lama karena ternyata botol-botol itu terlalu dingin untuk gue genggam sekaligus.

Setelah gue menemukan cara yang nyaman untuk membawa dua botol air mineral dingin itu, gue mengajukan pertanyaan to the point pada Shafira. "Dari seminggu yang lalu, kamu sengaja menghindari saya, ya?"

"Menghindar karena?" dia malah balik bertanya. Gue mengangkat bahu menanggapinya.

"Mana saya tahu alasannya, kan kamu yang menghindar."

"Wah, kali ini tebakannya agak meleset ya. Nggak ada yang menghindar, maybe it's just your feeling." Gue tersenyum tipis. Dari semua hal yang dia lakukan untuk mengurangi interaksi dengan gue di kantor, apa namanya kalau bukan menghindar.

Mungkin dia masih merasa malu pada gue tentang kejadian satu minggu yang lalu, tapi nggak mungkin gue mengungkit kejadian tersebut. Yang ada ke depannya dia akan semakin menjauhi gue, karena mengira gue belum lupa soal hal tersebut. Jadi gue mencoba memberikan alasan lain.

"Then let me guess the reason. Kamu mulai menghindari saya sejak Nalea balik ke Indonesia dan itu bertepatan dengan beberapa minggu setelah kamu pertunangan dengan seorang Muhammad Rafif Alfarezel."

"Kayaknya tunangan kamu itu sengaja meminta kamu supaya jaga jarak sama saya. Radius berapa meter katanya?" tanya gue sinis ambil berusaha membuka salah satu tutup botol yang sedang gue pegang, karena dinginnya membuat tenggorokan gue meronta-ronta.

"Tanpa disuruh pun, sudah seharusnya saya menghindari Anda. Terlepas dari soal pekerjaan, sejak awal sikap saya memang seperti ini, kan?"

"That's true but..." Gue mengambil jeda karena hendak minum terlebih dahulu sebelum meneruskan perkataan. tersebut.

Namun tiba-tiba saja, Shafira menarik botol minum tersebut membuat isinya keluar menyembur membasahi wajah dan kaos yang gue pakai. Gue seperti sengaja disiram untuk cuci muka karena wajah gue yang mungkin berminyak setelah berolahraga.

Shafira malah tertawa melihat kondisi tersebut. Ini baru pertama kalinya gue melihat Shafira tertawa lepas seperti itu. Bukan dalam artian tertawa yang terbahak-bahak hingga suara kerasnya terdengar orang-orang yang ada di tempat itu, tapi tawa yang lebih tulus. Bukan sekadar paksaan atau hanya formalitas saja.

"Sebahagia itu, ya, nyiram atasan sendiri pakai air dingin? Ketawanya puas banget." Shafira masih berusaha untuk berhenti tertawa. Dia berjalan ke salah satu meja kosong yang paling dekat untuk mengambilkan tisu dan menyerahkannya beberapa lembar ke gue.

"Maaf, saya nggak sengaja tadi. Saya cuma mau melarang Anda untuk minum sambil berdiri, tapi akhirnya malah tumpah."

"Ada larangan agama juga tentang itu, ya?" tanya gue sembari berusaha mengeringkan baju gue dengan lembar-lembar tisu yang tadi Shafira berikan. Gue merasa bodoh tentang agama, tapi anehnya gue sama sekali nggak merasa malu untuk bertanya pada Shafira. Mungkin karena cara menjelaskannya yang membuat gue nggak merasa digurui.

Hanya dari tragedi Air yang tumpah saja diskusi kami menjadi panjang. Shafira bukan hanya menjelaskan dari sudut pandang agama, tapi dia juga menjelaskan tentang minum sambil berdiri dari sudut pandang kode etik dalam table manner bagi sekretaris profesional. Katanya hal tersebut pernah menjadi pembahasan dalam materi seminar yang diadakan Nata Adyatama untuk seluruh sekretaris dari berbagai tingkatan.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang