HARI Minggu itu gue lagi ada di rumah yang di Menteng. Gue berencana untuk hibernasi seharian karena Sabtu kemarin sudah gue pakai untuk pergi ke gym dan menghadiri kajian rutin setiap Sabtu malam bersama Abyan dan Vian. Agak miris memang, untuk pertama kalinya datang ke kajian, gue merasa menjadi orang yang paling bodoh dan nggak tahu apa-apa soal agama gue sendiri.
Minggu pagi gue yang tenang itu, tiba-tiba terusik karena Sheina masuk kamar gue dengan pakaian olahraganya yang sudah lengkap. Dia mengajak gue untuk melatih kardio sebentar dengan olahraga lari.
"Kak... Ayo kita harus semangat. Hari Minggu jangan rebahan terus."
"Mau seisi dunia yang nyemangatin, kalau lagi capek ya capek aja, Na."
"Dekat kok, kita olahraga di taman Menteng aja. Kalau katanya males, ya udah nganterin aku doang, nemenin aja. Biar aku yang olahraga. Kata dokter, aku harus rajin olahraga supaya tubuh aku lebih kuat kayak dulu." Gue yakin semua alibinya hanyalah dusta. Mana ada dokter yang menyarahkan olahraga pada pasien yang baru-baru menjalani operasi.
"Ya, udah jangan lebih dari satu jam ya. Kakak cuma nganterin kamu doang."
"Asik! Ya udah ayo cepetan ganti baju, aku tunggu di bawah ya."
Sampai di taman Menteng tempat itu sangat penuh sekali dengan orang yang juga memiliki niatan yang sama untuk berolahraga. Padatnya membuat gue yakin nggak ada space buat jogging lebih leluasa. Akhirnya sebelum memarkirkan mobil di tempat tersebut, gue lebih memilih mengajak Sheina olahraga di GBK.
Dibandingkan gue yang selalu menepati perkataan yang gue ucapkan pada Sheina. Dia malah lebih sering melakukan hal sebaliknya. Perjanjian diawal tadi, olahraga hanya dilakukan selama satu jam. Dia yang berolahraga dan gue hanya mengantar.
Setelah sampai di GBK, malah gue yang terpengaruh untuk lari dan Sheina hanya jalan kaki, itu pun banyak berhentinya. Sependek mata gue mengawasinya, dia hanya berhasil berjalan kaki selama satu putaran dan memutuskan berhenti dengan alasan perutnya sudah keroncongan.
"Mana yang bilang mau olahraga? Malah Kakak yang olahraga."
"Aku kan nggak minta Kak Atha buat lari, aku cuma minta dianterin. Tadi Kak Atha sendiri yang memutuskan untuk lari. Aku capek banget, perut aku laper. Mending sekarang kita cari makan dulu aja." Gue menyetujuinya. Kami berjalan menjauhi arena lari.
"Itu bukannya Kak Shafira ya?
"Mana?" tanya gue. Pandangan gue mendadak jelas aja kalau udah dengar nama satu itu.
Sheina melambaikan tangan setinggi-tingginya untuk membuat Shafira menyadari kehadirannya. Setelah itu, dua orang berjalan menghampiri kami. Ternyata Shafira sedang bersama kakaknya.
"Masyaallah. Kayaknya ada something new nih."
"Hehehe... harus dong dong. Oh ya, kenalin Kak. Ini kakakku Athaya. Ini kakaknya Kak Shafira, namanya Kak Hazm. Kayaknya kalian sempat ketemu waktu di rumah sakit, tapi nggak sempet kenalan." Sheina dengan inisiatifnya yang sangat baik mengenalkan gue terlebih dahulu kepada kakaknya Shafira.
"Athaya Khalil Adnan..." Gue mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh orang tersebut.
"Hazm Zulmi Arrafi. Salam kenal, Pak. Kita sempet ketemu waktu di mall minggu lalu saat saya jemput Shafira, tapi Shafira udah ngirim pesan duluan ke saya supaya saya nggak perlu turun dari motor." Ah, Minggu lalu berarti bertepatan dengan kejadian itu.
"Eh, panggil nama aja, nggak apa-apa. Saya nggak enak dipanggil begitu. Sering olahraga di sini juga?" tanya gue.
"Oh, nggak. Ini baru minggu kedua saya sama adik saya olahraga di sini. Anda sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...