Bagian 33

12.6K 2.4K 219
                                    

DARI sekian banyak orang di ruangan rapat, kenapa harus Daffin yang menyadari kesalahan soal resume itu lebih dulu. Masalahnya gue selalu naik darah kalau berurusan dengan orang yang menjabat sebagai manager kontruksi itu. Sebenarnya dia bukan orang yang masuk kedalam daftar orang-orang yang gue benci, tapi dia masuk ke daftar orang-orang yang gue hindari.

Singkatnya, kami bersaudara, dengan hubungan keluarga yang cukup jauh. Kakek dari ayah kami sama. Hingga tahun-tahun awal mengenalnya pun, gue belum menyadari kalau kami memiliki ikatan keluarga waktu itu. Yang namanya tinggal di negara orang, menemukan orang lain yang sebangsa dan setanah air, apalagi sudah lebih dulu tinggal di sana, sudah lebih banyak tahu tentang negara yang ditinggali, membuat gue merasa ada teman. Hingga akhirnya gue tahu kalau kami bersaudara dan dia menjadi mata-mata yang melaporkan segala kegiatan gue di sana ke bokap.

And the most important thing, he's Nalea's first love. Ya, Nalea dengan Daffin dulu satu SMA. Saat Daffin akan lulus, Nalea baru masuk sebagi anak baru. Satu semester singkat yang membuat Nalea mengalami debaran pertamanya karena seorang pria. Besar kemungkinan sekarang pun mereka masih menjalin komunikasi, sebab kabarnya hubungan mereka yang dulu kandas itu berakhir dengan cara 'baik-baik'.

Bagian yang paling menyebalkan, setelah rapat selesai gue malah perlu mendiskusikan sesuatu yang diamanatkan oleh Pak Jo, dengan direktur kontruksi, yang mana Daffin sudah pasti akan terlibat di dalamnya. Ngomongin soal kerjaan aja bawaanya udah malas.

"Ya udah, Tha. Kirim aja rancangan perencanaan lengkap yang sudah di acc ke email saya ya." Gue mengiyakan perkataan direktur kontruksi itu sebelum akhirnya raganya menghilang setelah berpamitan. Menyisakan gue dan Daffin di ruang meeting itu. Orang-orang Bappeda sudah dari awal digiring Bu Rina entah hendak ke mana, mungkin makan siang bersama.

"Resume Pamdawa," katanya menyerahkan kertas yang sedari tadi dipegangnya ke gue. Gue menghela nafas malas, sengaja menunjukkan reaksi nggak nyaman.

"Ternyata, perempuan berhijab itu sekretaris lo?" tanyanya retorika. Pertanyaanya sama sekali nggak membutuhkan jawaban. Daffin bukan orang yang bertanya untuk mendapatkan jawaban. Dia tipe orang yang bertanya untuk memastikan jawaban yang sudah ia ketahui itu benar adanya.

"Kenapa? Nyari bahan laporan buat ke Nalea?" tanya gue sarkas.

"Sensi amat sih, Tha. Gue cuma nanya doang, nggak ada sangkut pautnya sama Nalea. Sekretaris lo beberapa kali ikut meeting di building B, kan? Dia jadi bahan incaran anak-anak kontruksi tuh. Mereka nggak tahu aja jabatannya apa, namanya siapa, makanya nggak berani maju." Gue rasa dia salah memilih topik pembicaraan di luar pekerjaan. Disaat gue masih panas karena masalah resume yang salah cetak, dia malah membicarakan Shafira.

Gue membereskan barang-barang gue, sebelum menatapnya dengan serius.

"Sekretaris gue, udah jadi istri orang!" Gue mengatakan itu dengan agak sinis sebelum akhirnya meninggalkan sendirian. Sengaja gue katakan hal lain karena gue yakin beritanya akan Daffin sampaikan pada tim-nya. Tim kontruksi gue analogikan sebagain penangkaran buaya. Isinya hampir laki-laki semua. Walau ada staf wanita, jumlahnya bisa dihitung jari. Dari sekian banyak pegawai Nata Adyatama yang berhijab dan kerja di building B, Shafira bukan orang cocok untuk dijadikan pakan buaya.

Belum sampai di ambang pintu, dia sudah berbicara lagi. "Karena lo yang menyinggung soal Nalea duluan..." katanya menggantung, membuat gue menahan diri dan menoleh sekilas. "Dia bakalan pulang liburan semester ini. Katanya dia bingung harus mengabari lo soal ini atau enggak."

See? Daffin bahkan lebih tahu hal-hal tentang Nalea dibandingkan gue yang berstatus sebagai tunangannya. Mungkin begitulah akhir dari hubungan putus dengan cara 'baik-baik'. Gue sama sekali nggak keberatan sekalipun Daffin masih memiliki perasaan pada Nalea. Bahkan dengan iklas gue katakan, bahwa gue akan sangat mendukung dan merestui hubungan mereka kedepannya. Sayangnya, membatalkan pertunangan nggak sesederhana memutuskan hubungan semacam pacaran.

Tunangan sudah berada di satu tingkat lebih serius dari sekadar pacaran. Gue udah ketemu dengan seluruh keluarga besarnya Nalea, bokapnya yang menjabat sebagai mentri administrasi dan tata negara, akan membuat wajah gue muncul dimana-mana dan nama gue tranding di twitter berhari-hari. Gue sudah membayangkan bagaimana kerumitan yang akan terjadi kalau gue yang mengajukan pembatalan dari pertunangan ini duluan. Mungkin akan ada headline "Putra dari pemilik Nata Adyatama membatalkan pertunangannya dengan putri mentri ATR." Kurang lebih begitu, karena yang terkenal adalah orang tua kami, dan gue malas mejelaskan hal tersebut pada semua orang.

Sampai di ruangan kerja, gue mendapati Shafira tengah duduk di mejanya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ingatan tentang Nalea hilang seketika, tergantikan dengan amarah yang tadi sempat gue tahan sekuat tenaga. Suara langkah kaki gue membuatnya duduk siaga. Gue menaruh kertas-kertas resume itu ke hadapannya dengan agak keras. Membuatnya agak kaget dan enggak menunjukkan respon apapun.

"Kemarin kamu salah mengirimkan laporan pada divisi pengawasan. Hari ini kamu salah mencetak resume. Besok apalagi, Ra? Serumit apapun urusan pribadi kamu di luar, tolong jangan dibawa ke kantor! Kalau kamu udah nggak bisa kompeten sebagai sekretaris dan ngerasa nggak mampu kerja di sini, bilang aja. Saya bisa nyari pegawai yang lain!" Gue mengatakan itu dalam satu kali hembusan nafas. Entahlah, gue enggan melihat wajahnya setelah menegurnya dengan cukup keras.

Setelah itu gue berlalu menuju meja kerja gue untuk mengambil kunci mobil. Saat itu memang sudah jam istirahat, rencananya gue akan makan di luar kantor sambil menenangkan diri sejenak dari segala huru-hara pekerjaan. Gue berlalu meninggalkan Shafira di ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Berjalan menuju arah lift sambil mencoba menghubungi Pak Iman karena gue tahu, gue nggak bisa mengemudi dalam kondisi ini.

Pak Iman bilang kalau dia lagi ada di lokasi yang nggak jauh dari kantor, tapi perlu waktu untuk bisa sampai kantor dan menjemput gue. Akhirnya gue bilang kalau gue akan menunggu di lobi sampai dia datang. Pekerjaan Pak Iman memang nggak ada jam kerja khusus. Gue nggak mengharuskan Pak Iman untuk selalu menjemput gue, atau stay di kantor selama gue kerja, terus mengantar gue pulang.

Gue hanya mengatakan, kalau gue lagi nggak sanggup nyetir sendiri dan gue menghubungi Pak Iman, dia harus selalu dalam kondisi siap. Ya tentu saja untuk situasi-situasi tertentu kayak misal anaknya lagi sakit sampai di rawat, gue bisa memaklumi hal-hal tersebut. Itulah kenapa gue berani menghubungi Pak Iman subuh-subuh untuk minta dijemput saat gue kebanyakan minum, atau memintanya menyetir ke luar kota di hari libur saat kerjaan gue lagi padat-padatnya.

Gue menyandarkan kepala sejenak ke sandaran kursi. Thank God, sofa lobi Nata Adyatama nggak kalah empuk sama sofa-sofa di hotel bintang lima. Gue bisa mengistirahatkan diri sejenak sebelum pandangan gue terusik dengan seseorang yang berjalan menuju kursi tunggu juga. Meski hanya sekali bertemu, gue masih bisa mengenalinya.

"Kinan? Kinan, kan?"

____________

To be continued.

Assalamualaiakum, gimana kabarnya kalian?

Aku mau minta doanya, semoga bisa tetap konsisten update sambil mengerjakan skripsay ya 😭. Doakan otak fiksi ini bisa satset ngerjain hal-hal ilmiah. Kalian akan jadi saksi perjuangan ini. (azeek)

Jadi kalau banyak typo harap dimaklum, resvisinya sekalian aja nanti kalau udah tamat.

Make the Quran as the main reading.

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang